BISNIS.COM, JAKARTA--Kalangan pengembang meminta pemerintah untuk membentuk lembaga khusus yang menangani bank tanah untuk kepentingan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Teguh Satria, Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI) mengatakan fungsi utama lembaga tersebut nantinya adalah mencari, membeli,dan mengelola lahan sebanyak-banyaknya yang bisa dikembangkan untuk hunian MBR.
“Konsepnya sedikit mirip dengan URA (Urban Redevelopment Authority) yang diterapkan Singapura. Jika lembaga tersebut sudah memiliki banyak bank tanah, tinggal disesuaikan dengan rencana tata ruang daerah dan infrastruktur dari pemerintah,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Kamis (7/3).
Dia menjelaskan, konsep landbanking ini bisa dibagi dua, yakni skala besar yang artinya luas lahan bisa mencapai 10.000 hektare. Di lahan tersebut kemudian dibangun proyek perumahan layaknya kota mandiri.
Sedangkan di skala perkotaan, lembaga tersebut membebaskan lahan-lahan kumuh melalui skema ganti untung, lalu area tersebut dibangun hunian vertical sesuai tata kota yang ada. Pada skala ini luas lahannya hanya berkisar maksimal 100 hektare.
Lembaga ini bisa juga mengakuisisi lahan di area yang peruntukannya untuk komersial, kemudian dijual atau dilepas sesuai harga pasar ke pengembang. Dana yang didapat bisa digunakan untuk membeli lahan di daerah yang tata ruangnya memang hunian.
Teguh membenarkan bahwa upaya untuk landbanking ini memerlukan biaya tidak sedikit, maka dia mengusulkan supaya dananya diambil dari konsep tabungan perumahan rakyat yang rancangan undang-undangnya tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Melalui konsep ini, upaya pengurangan backlog perumahan dapat dipacu dari sisi suplai juga, dan laju pertumbuhan harga lahan bisa dikendalikan, tidak se-gila-gilaan saat ini,” paparnya.
Idealnya, menurut Teguh, lembaga ini dibentuk segera setelah RUU Tapera disahkan, supaya bisa mulai survei lahan dan perhitungan lainnya. RUU Tapera sendiri ditargetkan selesai dibahas pada Juli 2013.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), backlog atau kekurangan pasokan perumahan di Indonesia pada 2010 mencapai 13,6 juta. Pada 2014, diperkirakan angka tersebut bertambah menjadi 15 juta unit karena belum ada upaya serius untuk menanganinya. (faa)