JAKARTA--Subsidi bahan bakar minyak yang diproyeksi mencapai Rp216,7 triliun hingga akhir tahun ini berdampak negatif karena meminimalisir peran APBN sebagai stimulus perekonomian.
Direktur INDEF Enny Sri Hartati mengatakan kebutuhan anggaran subsidi BBM terus membengkak seiring naiknya harga minyak dunia dan kenaikan konsumsi BBM bersubsidi. Di sisi lain, pendapatan negara sulit untuk digenjot di atas target.
Akibatnya, porsi belanja-belanja prioritas terpaksa dikurangi dan stimulus fiskal hampir tidak ada, karena APBN tersandera subsidi BBM.
"Dampak [membengkaknya subsidi BBM] luar biasa, beberapa proyek di Kementerian/Lembaga di-pending, mekanisme anggaran terganggu jadi penyerapan rendah sekali. Stimulus fiskalnya juga jadi tidak jalan," ujarnya ketika dihubungi Bisnis, Jumat (16/11).
Enny menilai membengkaknya subsidi BBM didorong oleh harga BBM bersubsidi yang terlalu rendah, skema subsidi yang tidak tepat sasaran, dan program pengendalian konsumsi yang tidak efektif.
Akibat besarnya subsidi BBM, imbuh Enny, defisit APBN-P 2012 berisiko melebar. Dalam APBN 2012 defisit ditetapkan sebesar 1,53% terhadap PDB, namun melebar menjadi 2,23% pada APBN-P 2012 dan realisasinya berisiko menyentuh 2,3%.
"Kalau tidak ada alternatif terobosan, defisit akan melebar dan meningkatkan penarikan utang," tuturnya.
Senada dengan Enny, Ekonom EC-Think Telisa Aulia Falianty mengkritisi belanja subsidi BBM yang sangat besar. Pemerintah diimbau untuk mereformasi pola subsidi BBM agar menjadi lebih tepat sasaran dan meralokasi subsidi ke belanja yang lebih produktif.
"Memang cukup besar pengeluaran untuk subsidi BBM ini. Sehingga tahun depan pemerintah harus segera merealokasi untuk hal yang multiplier effect-nya lebih besar seperti pengeluaran infrastruktur dan belanja sosial untuk pengentasan kemiskinan," katanya. (if)