Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

DAMPAK KRISIS GLOBAL: Diprediksi lebih berat tahun depan

SURABAYA: Dampak krisis ekonomi global berpotensi jauh lebih berat dirasakan pada tahun depan, yang ditandai dengan tren penurunan pertumbuhan ekspor beberapa negara di kawasan Asia.Ekonom OCBC Bank Gundy Cahyadi mengatakan pertumbuhan ekspor beberapa

SURABAYA: Dampak krisis ekonomi global berpotensi jauh lebih berat dirasakan pada tahun depan, yang ditandai dengan tren penurunan pertumbuhan ekspor beberapa negara di kawasan Asia.Ekonom OCBC Bank Gundy Cahyadi mengatakan pertumbuhan ekspor beberapa negara Asia seperti Malaysia, Thailand, China, dan Indonesia sudah mulai turun sejak Mei."Itu indikasi pertumbuhan ekonomi di Asia akan lebih berkurang pada tahun depan," katanya dalam acara economic update & market strategy, Rabu malam (17/10).Dia menjelaskan hingga kini belum ada tanda-tanda krisis utang di Eropa akan berakhir, bahkan dikhawatirkan masih akan menjalar ke negara Eropa lainnya."Di sisi lain, perekonomian AS masih di bawah tren yaitu sekitar 2% yang kemungkinan akan berlanjut 2 tahun-3 tahun ke depan," jelasnya.Adapun China sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia, sambungnya, juga mencatatkan tren penurunan pertumbuhan ekonomi yang hingga akhir tahun ini diproyeksikan hanya 7,8%, turun dari proyeksi awal 8%-8,2%."Ekonomi dunia itu ditopang tiga kaki, kaki kedua yaitu Eropa sudah patah, kaki pertama AS sudah mulai goyang meski masih berdiri. Jadi tinggal satu-satunya kaki yang masih kuat menopang adalah China," tuturnya.Menurutnya, kondisi perekonomian global tersebut akan memengaruhi laju perekonomian nasional yang saat ini sedang bermasalah pada neraca perdagangan akibat penurunan nilai ekspor."Ini risiko yang material terhadap pertumbuhan ekonomi ke depan karena permintaan dunia menurun dan adanya kebijakan pajak ekspor 20% oleh pemerintah," jelasnya.Dari sisi investasi, Gundy melihat akan terjadi penurunan mulai semester kedua hingga tahun depan, yang tercermin dari penurunan impor barang modal signifikan pada sejak Juli hingga September."Ini merupakan tanda-tanda tidak akan ada pertumbuhan investasi seperti semester pertama," ujarnya.Dia menjelaskan penurunan impor barang modal disebabkan oleh tren penurunan nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini."Nilai tukar rupiah sekarang undervalue sekitar 10%-15% tapi BI menganggap koreksi itu masih sehat sehingga mereka mungkin tidak akan intervensi untuk menggerakkan rupiah," tuturnya.Namun demikian, dia optimistis nilai tukar rupiah akan terapresiasi pada tahun depan pada level Rp9.250-Rp9.300 seiring meningkatnya risk appetite di pasar.Dengan adanya apresiasi rupiah tersebut, Gundy berhadap posisi neraca pembayaran Indonesia akan membaik pada tahun depan."Kenaikan nilai rupiah sebenarnya tidak spesial karena nilai tukar mata uang Asia lainnya juga naik seiring melemahnya nilai dollar AS," ujarnya.Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Gundy memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan hanya 6,5%, lebih rendah dari target yang dipatok pemerintah sebesar 6,8%."Hingga akhir tahun ini kami perkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,2%," ujarnya.Menurutnya, pertumbuhan konsumsi dalam negeri dan investasi masih akan menjadi penopang laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan, di tengah dampak krisis global yang belum diketahui kapan bakal berakhir. (Bsi)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper