JAKARTA: Kementerian Perhubungan mensinyalir tubrukan KMP Bahuga Jaya dengan kapal tanker Norgas Cathinka salah satunya disebabkan kesalahan manusia, khususnya mengenai kesalahan olah gerak kapal oleh juru mudi.Direktur Perkapalan dan Kepelautan (Dirkapel) Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub Iyan Riswandi mengatakan dugaan faktor human error (kesalahan manusia) terindikasi dari tindakan yang dilakukan mualim (asisten nakhoda) kapal. Namun untuk keputusan pastinya menunggu hasil dari Mahkamah Pelayaran.Menurutnya, dalam Peraturan Pencegahan Tubrukan di Laut (P2TL) 1972 atau Coallision Regulation 1972 International Maritime Organization (IMO), kapal yang melihat di sisi kanannya ada kapal lain wajib menghindar. Karena tubrukan antar kedua kapal ini terjadi di wilayah ALKI, perairan internasional, meski masih di Selat Sunda."Dalam sebuah kapal, lampu sisi kiri merah, kanan hijau, artinya pelaut pantang belok ke kiri," jelas Iyan di kantor Kemenhub Jakarta, Rabu (10/10/2012).Dalam posisi kecelakaan tersebut, lanjut Iyan, kapal tanker Norgas Cathinka berbendera Singapura dinilai bergerak benar ke kanan tetapi kemudian menabrak lambung kanan KMP Bahuga yang berbelok ke kiri. Artinya pada tahap kritis KMP Bahuga tidak melakukan tindakan yang lazim."Pada tahap kritis tubrukan tidak bisa dihindari. Awalnya yang sebagai kapal bertahan (posisi kanan), KMP Bahuga Jaya boleh melakukan tindakan sebelum masuk pada tahap kritis. Kenapa terlambat melakukan tindakan sebelum masuk tahap kritis," paparnya.Selain itu kedua kapal seharusnya bisa saling menginformasikan kepada kapal lain. Yan menuturkan bahwa menurut nahkoda KMP Bahuga pihaknya telah menghubungi MT Norgas tetapi tidak dijawab. Sehingga tidak terjadi komunikasi langsung antar nakhoda kedua kapal.Tubrukan KMP Bahuga Jaya dengan kapal tanker Norgas Cathinka terjadi di Selat Sunda, 26 September 2012, tujuh orang tewas, 206 orang selamat.Faktor lain, kata Iyan, adalah arus di kawasan itu cukup kencang, namun hal itu bukan jadi alasan utama seorang nakoda kapal untuk tidak bisa menghindari tubrukan."Arus bukan jadi alasan adanya kecelakaan. Seorang nakoda tahu apa yang harus dilakukan menghindari tubrukan," jelasnya.Disebutkan, arus deras di Selat Sunda itu, adanya di bawah draft sehingga tidak bisa sepenuhnya menjadi alasan. "Di Selat Sunda itu memang arusnya deras, saya akui itu."Dia menjelaskan berdasarkan laporan pihak Syahbandar, saat tubrukan itu terjadi, nakoda kapal tidak tahu, karena pada saat itu waktu jaganya Mualim I di kapal Bahuga Jaya, sedangkan nakhoda sedang ada di bawah. "Nakodanya juga tidak tahu saat kecelakaan itu terjadi," kata Iyan.Dia juga mengakui soal pelanggaran muat yang terjadi di penyeberangan yakni pengaturan kendaran roda dua, roda empat dan lebih tidak sesuai aturan keselamatan pelayaran.Di antaranya tidak dilasingnya (ikat) seluruh kendaraan yang dimuat kapal dan tidak adanya ruang bagi kendaraan.Kendaraan yang dimuat itu posisinya saling berdempetan. Padahal untuk keselamatan, harus ada ruang, sehingga saat terjadi insiden, misalnya kebakaran, petugas pemadaman bisa masuk dan lewat.Lasing terhadap kendaraan, tujuannya agar tidak bergeser saat kapal terkena ombak, sehingga keseimbangan kapal tetap terjaga dan tidak saling berbenturan satu sama lainnya.Namun, unkap Riwandi, kalau peraturan keselamatan itu diikuti sepenuhnya, kapal tidak bisa berangkat sesuai jadwal sehingga bisa diabaikan saja.Dia mengilustrasikan, kalau setiap kendaraan harus dilasing, akan memakan waktu lama. Misalnya, menangani satu mobil butuh waktu lima menit, dalam satu kapal berapa banyak kendaraan, maka waktu yang dibutuhkkan cukup lama, makanya, diabaikan aturan itu.Butuh VTSIyan menjelaskan memang di Selat Sunda belum dipasang alat vessel traffic system (VTS) yang mengendalikan olah gerak kapal oleh satu sistem. "Kalau di penerbangan dikenal dengan Air Traffic Control (ATC), nah di laut dikenal dengan VTS," katanya.Tidak dipasangnya VTS ini, imbuh Iyan, dengan sejumlah pertimbangan, khususnya soal keterbatasan dana karena biasanya harus diganti setiap 15 tahun sekali. Selain itu kapal-kapal kecil yang tidak punya Automatic Identification System (AIS)ataupun radio, bisa luput dari pengaturan."Kalau dipenerbangan, mana ada pesawat yang tidak dilengkapi radar, makanya kalau ada ATC, semuanya bisa diatur," ucap Iyan.Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan Bambang S. Ervan mengatakan berdasarkan peraturan IMO Colreg 1972, itu pengaturan untuk nakhoda kapal. Sementara pengaturan seperti di Air Traffic Control (ATC) penerbangan, di laut dikenal dengan Traffic Separation Scheme (TSS)."Saat ini baru diterapkan di Selat Malaka. Untuk penetapan TSS diajukan oleh masing-masing negara pemilik perairan dan akan dinilai IMO sebelum disetujui. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sehingga bisa disetujui IMO," kata Bambang. (Bsi)
KECELAKAAN KAPAL BAHUGA JAYA: Kemenhub duga karena human error
JAKARTA: Kementerian Perhubungan mensinyalir tubrukan KMP Bahuga Jaya dengan kapal tanker Norgas Cathinka salah satunya disebabkan kesalahan manusia, khususnya mengenai kesalahan olah gerak kapal oleh juru mudi.Direktur Perkapalan dan Kepelautan (Dirkapel)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Arif Gunawan Sulistyono
Editor : Puput Jumantirawan
Topik
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

48 menit yang lalu
Prospek Laba Bersih BBCA usai Ungguli Big Banks BMRI, BBRI & BBNI
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru

6 menit yang lalu
Trump Bakal Kenakan Tarif 100% untuk Film Produksi Luar AS

20 menit yang lalu
Biaya Perawatan Mahal, Garuda (GIAA) Grounded 15 Pesawat
Terpopuler
# Hot Topic
Rekomendasi Kami
Foto
