Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

INDUSTRI KEHUTANAN: Jadikan areal Kalista jadi kawasan moratorium

 

 

 

 

JAKARTA: Greenomics Indonesia mengharapkan areal perizinan kelapa sawit PT Kalista Alam di Aceh seluas 1.605 hektare untuk  kembali menjadi areal moratorium dalam peta indikatif moratorium revisi kedua yang akan diterbitkan pada bulan ini sesuai dengan permintaan Satgas Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).

 

Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengatakan pihaknya mendukung permintaan Ketua Satgas REDD+ kepada Menteri Kehutanan untuk mengembalikan areal izin perkebunan sawit PT Kalista Alam untuk  kembali menjadi areal moratorium.

 

“Kami juga Mendukung permintaan Kementerian Kehutanan kepada BPN [Badan Pertanahan Nasional] untuk mengklarifikasi seluruh data dan informasi terkait perizinan dari BPN, karena sangat terkait dengan kredibilitas dan kualitas data dalam peta indikatif moratorium, terutama revisi kedua yang akan ditetapkan pada Mei 2012 ini,” ujarnya kepada Bisnis, hari ini, Minggu 13 Mei 2012.

 

Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) revisi pertama atau peta hutan yang dimoratorium mencatat luas lahan gambut di Tanah Air turun sebesar 4,8 juta ha atau 44,8% menjadi 5,9 juta ha dibandingkan dengan PIPIB sebelumnya 10,7 juta ha.

 

Revisi pertama itu dikeluarkan pada November 2011, sedangkan peta indikatif revisi kedua akan diterbitkan pada bulan ini.

 

Elfian menjelaskan surat Ketua Satgas (REDD+) Indonesia Kuntoro Mangkusubroto kepada Menteri Kehutanan tertanggal 18 April 2012 perihal pembaharuan peta indikatif moratorium PT Kalista Alam serta tanggapan atas surat tersebut dari pihak Kementerian Kehutanan.

 

Pemerintah memberlakukan moratorium hutan alam primer dan lahan gambut pada 20 Mei 2011, yang akan berlaku selama 2 tahun.

 

Greenomics Indonesia berpandangan bahwa kedua surat tersebut dapat menunjukkan data dalam penyusunan peta indikatif moratorium tersebut dibangun.

 

Surat Ketua Satgas REDD+ Indonesia yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan tersebut, yang diawali oleh kronologi singkat seputar perizinan dan kedudukan areal PT Kalista Alam dalam peta indikatif moratorium.

 

Kronologis tersebut adalah pada 25 Agustus 2011, Gubernur Aceh menerbitkan Izin Usaha Perkebunan Sawit kepada PT Kalista Alam seluas 1.605 ha di kawasan Rawa Tripa Aceh.

 

Wilayah tersebut, sebagaimana dipetakan melalui Kepmenhut No. 323/2011 pada 17 Juni 2011, berada di dalam wilayah peta moratorium. Namun, wilayah PT Kalista Alam tersebut tidak lagi termasuk dalam peta indikatif moratorium hasil revisi berdasarkan Kepmenhut 7416/2011, pada 22 November 2011.

 

Dikeluarkannya wilayah PT Kalista Alam tersebut adalah berdasarkan data dari BPN, bahwa terdapat Hak Guna Usaha (HGU) di atas wilayah tersebut.

 

Selanjutnya, surat Ketua Satgas REDD+ Indonesia tersebut, menyatakan Satgas REDD+ menerima pengaduan dari masyarakat sehubungan dengan kondisi di atas dan pada 1-3 April 2012 telah melakukan investigasi lapangan dan ditemukan pada wilayah perluasan perkebunan sawit PT Kalista Alam seluas 1.605 ha tersebut, belum diterbitkan HGU atas nama PT Kalista Alam ataupun atas nama perusahaan lain.

 

PT Kalista Alam memiliki Izin Lokasi dari Bupati Nagan Raya, yang berlaku selama 3 tahun dan berakhir tanggal 5 Februari 2011.

 

Surat tersebut kemudian menyebutkan temuan Satgas REDD+ tersebut kemudian diverifikasi ke BPN pada 12 April 2012 dan BPN membenarkan temuan tersebut.

 

Sebagai penjelasan terhadap kondisi lapangan, surat tersebut menyampaikan investigasi lapangan menunjukkan sebagian lahan PT Kalista Alam tersebut sudah ditanami sawit, sebagian siap ditanami dan sebagian besarnya masih berupa hutan.

 

Surat tersebut juga menyatakan bahwa berdasarkan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan PT Kalista Alam menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah tersebut merupakan kawasan bergambut.

 

Menurut Elfian, dalam penutup surat itu, Satgas REDD+ meminta kepada Menteri Kehutanan untuk meneliti masalah tersebut sesuai dengan Inpres moratorium dan menetapkan kembali wilayah PT Kalista Alam tersebut sebagai wilayah moratorium.

 

“Menarik pula untuk dipelajari surat Dirjen Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan, pihak yang menandatangani peta indikatif moratorium atas nama Menteri Kehutanan tersebut, yang menanggapi surat Ketua Satgas REDD+ tersebut dengan melayangkan surat kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional pada 4 Mei 2012, dengan tembusan di antaranya kepada Menteri Kehutanan dan Ketua Satgas REDD+,” jelasnya.

 

Dalam surat Dirjen tersebut, di antaranya disebutkan bahwa pada 18 November 2011, dilakukan pembahasan final atas draf peta indikatif moratorium Revisi I yang dihadiri oleh UKP4, Kemenhut, Kementan, Bakosurtanal dan BPN.

 

Hasil pembahasan final tersebut, maka pada 22 November 2011 diterbitkan Kepmenhut 7416/2011 tentang peta indikatif moratorium revisi pertama.

 

Dalam surat Dirjen tersebut dinyatakan bahwa sesuai surat Ketua Satgas REDD+ tersebut, yang mana diinformasikan hasil verifikasi kepada BPN tentang perluasan PT Kalista Alam, yang ternyata pada lokus tersebut belum diterbitkan HGU, surat Dirjen tersebut menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara data yang diterima oleh pihak Kementerian Kehutanan dari BPN pada saat penyusunan peta indikatif moratorium revisi perta dengan data yang diberikan oleh BPN kepada UKP4.

 

Atas dasar tersebut, Dirjen Planologi dalam suratnya itu, meminta klarifikasi ulang terhadap seluruh data dan informasi terkait perizinan dari BPN yang dipergunakan dalam peta indikatif moratorium revisi satu, terutama terhadap areal perluasan PT Kalista Alam, sebagai bahan peta indikatif moratorium revisi dua yang akan diterbitkan pada Mei 2012 ini.

 

Greenomics Indonesia, katanya, menilai Kementerian Kehutanan ingin menegaskan penghapusan areal PT Kalista Alam dari peta indikatif moratorium memiliki dasar yakni data BPN.

 

Bahkan, draf peta moratorium revisi satu telah dilakukan pembahasan final dengan melibatkan unsur terkait dari pemerintah, seperti Satgas REDD+, BPN, Kementerian Pertanian, dan sebagainya, sebelum ditetapkan melalui Kepmenhut 7416/2011 pada 22 November 2011.

 

“Dengan adanya pengakuan dari pihak Kementerian Kehutanan bahwa ada perbedaan data yang diterimanya dari sumber BPN terhadap areal PT Kalista Alam, dengan data yang diberikan BPK kepada Satgas REDD+, memperlihatkan kredibilitas dan kualitas data dalam peta indikatif moratorium patut menjadi tanda tanya besar.”

 

Dia menilai dengan munculnya kasus PT Kalista Alam ini, menunjukkan kualitas survei lapangan yang dimaksud dalam Kepmenhut tersebut, patut dipertanyakan, terutama terhadap sejauh mana definisi survei lapangan yang dimaksud dalam Kepmenhut tersebut.

 

“Apakah mungkin terhadap seluruh data dan informasi terkait perizinan dari BPN tersebut dapat dilakukan dalam bulan ini? Ini menjadi pertanyaan fundamental dalam revisi kedua peta indikatif moratorium pada Mei ini,” jelasnya.

 

Saat dikonfirmasi lewat telefon, Dirjen Planologi Kehutanan Bambang Soepijanto dan Sekjen Kemenhut Hadi Daryanto tidak memberikan jawaban.(msb)

 

 

 

+ JANGAN LEWATKAN:

>>> 10 ARTIKEL PILIHAN REDAKSI HARI INI

>>> 5 KANAL TERPOPULER BISNIS.COM

>>> 10 ARTIKEL MOST VIEWED BISNIS.COM

>>BACA JUGA

Gara-gara JPMorgan, ORANG TERKAYA DI DUNIA merugi US$4,2 miliar

KRONOLOGI JATUHNYA SUKHOI versi Kementerian Perhubungan

KINERJA KUARTAL I/2012: Laba bersih Bakrie Plantations anjlok 64%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Sumber : Sepudin Zuhri

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper