Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PUPUK BERSUBSIDIPotensi penyelewengan sekitar 7 juta ton

 

 

JAKARTA: Potensi penyelewengan pupuk bersubsidi tahun ini diperkirakan mencapai 7 juta ton dengan estimasi anggaran negara menguap sebesar Rp 2,45 triliun.
 
Perhitungan tersebut diperoleh dari hasil riset dan pemantauan program pupuk bersubsidi yang dilakukan Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) di 10 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Temuan ini menandai belum efektifnya mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi untuk petani sehinggga mengakibatkan kebocoran anggaran negara.
 
Peneliti Pattiro Muchammad Fahazza mengungkapkan sejumlah persoalan masih menggelayuti pelaksanaan program pupuk bersubsidi mulai dari tahap produksi, distribusi, hingga perubahan harga di tingkat pengecer.
 
Namun, Fahazza menilai sebagian besar temuan permasalahn pupuk bersubsidi terjadi pada tahap pengadaan dan distribusi. Sejumlah petani membeli pupuk bersubsidi di atas ketentuan harga eceran tertinggi (HET).
 
Rata-rata jenis pupuk mulai dari Urea, ZA, NPK, organik disubsidi sebesar Rp 3.000—Rp 3.500 per kilogram. Pupuk Urea bersubsidi, misalnya, ditetapkan senilai Rp 1.800 per kg, pupuk ZA Rp 1.400 per kg, pupuk NPK Rp 2.300 per kg, pupuk organik Rp 500 per kg.
 
Faktanya, kelangkaan pupuk bersubsidi terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia. Sebagian besar petani harus membeli pupuk nonsubsidi yang harganya tiga kali lipat dari pupuk bersubsidi. Fahazza menilai produsen melakukan penyaluran pupuk bersubsidi ke pengecer tidak sesuai dengan dokumen delivery order.
 
“Akibatnya terjadi keterlambatan distribusi sehingga pupuk bersubsidi langka di sejumlah sentra produksi pertanian seperti di Bandung, Semarang, Lombok, dan daerah strategis lainnya,” ungkapnya pada jumpa pers di Jakarta hari ini.
Menurut Fahazza, Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) sangat lemah menjalankan fungsinya di daerah. 
 
Pupuk bersubsidi justru dijual dengan pola terbuka sehingga petani dengan luas lahan lebih dari 2 hektar juga tercantum dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) petani.
 
Buruknya kinerja KP3 membuat dana alokasi pengawasan sebesar Rp 60 miliar berpotensii sia-sia. Pasalnya, Pattiro banyak menemukan fenomena penggantian kemasan pupuk bersubsidi menjadi kemasan pupuk nonsubsidi dengan harga yang jauh melambung. Kasus penimbuan pupuk bersubsidi oleh oknum pengecer tidak satupun ditangani oleh KP3.
 
“Lebih baik KP3 bubarkan saja, karena fungsinya tidak jelas. Keberadaan KP3 justru menghabiskan anggaran,” katanya.
 
Staf Ahli Bidang Legislasi DPR RI Padang Kusumo mengungkapkan penyaluran pupuk bersubsidi sebaiknya langsung diberikan ke kelompok petani tanpa alur distribusi dari lini I produsen hingga lini IV pengecer.
 
Menurutnya, pemberdayaan kelompok tani perlu diprioritaskan untuk berpartisipasi langsung dalam perencanaan dan penyusunan RDKK, termasuk diberikan fungsi dalam mengawasi distribusi pupuk. Selain itu, pemerintah harus memberikan insentif pengadaan gudang penyimpanan pupuk dan armada transportasi.
 
“Masih banyak pengecer yang belum melengkapi diri dengan gudang dan fasilitas transportasi. Keterbatasan ini lah yang membuat pengecer seenaknya menaikkan harga karena masih terbebani biaya operasional,” jelasnya. (sut)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Gajah Kusumo
Editor : Sutarno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper