Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bibit, obat & pakan ternak masih impor

JAKARTA: Kendati kebutuhan daging ayam dan telur di Tanah Air sudah swasembada, tetapi kebutuhan bibit unggas, obat hewan serta pakan ternak yang sebagian besar masih diimpor, sehingga perlu dilakukan restrukturisasi perunggasan.Ketua Umum Gabungan Perusahaan

JAKARTA: Kendati kebutuhan daging ayam dan telur di Tanah Air sudah swasembada, tetapi kebutuhan bibit unggas, obat hewan serta pakan ternak yang sebagian besar masih diimpor, sehingga perlu dilakukan restrukturisasi perunggasan.Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas Indonesia Krissantono mengatakan impor grand parent stock (GPS) atau ayam bibit pada Januari-November 2011 mencapai 434.000 ekor."Ada persoalan dalam GPS [grand parent stock] dan PS [parent stock]. Lonjakan impor [parent stock] cukup mencolok dari 56.440 ekor [2010] menjadi 498.111 ekor [prediksi 2011," ujarnya saat Seminar Nasional Perunggasan VII 2011, hari ini.Dia berpendapat karena kebutuhan daging ayam dan telur sudah dipasok seluruhnya dari produksi lokal, maka pemerintah kurang memperhatikan perunggasan nasional.Menurutnya, agar industri perunggasan dapat bersaing, maka perlu restrukturisasi dari hulu sampai hilir."Perlu peran serta pemerintah, seperti penyediaan infrastruktur, penyediaan lahan, upaya meningkatkan konsumsi daging dan telur, serta bahan baku pakan ternak lokal."Krissantono mencontohkan perunggasan di Amerika Serikat dan Australia sudah dapat memenuhi bahan baku pakan sendiri, serta infrastruktur yang lebih baik, sehingga harga perunggasan lebih kompetitif.Menurutnya, jumlah industri pembibitan di Tanah Air masih sedikit, karena modal cukup besar, teknologi, serta risiko yang cukup tinggi dan infrastruktur yang belum diperbaiki.Dari sisi hilir, katanya, pemerintah harus menjaga stabilitas harga baik harga bibit ayam, pakan ternak, maupun daging unggas dan telur ayam dengan membuat bufferstock (stok penyangga).Stok penyangga itu, katanya, dengan memperbanyak cold storage, sehingga pada saat harga ayam sedang turun, maka dapat disimpan dan dijual pada saat harga sudah membaik.Kebutuhan bibit ayam pada tahun ini sekitar 1,6 miliar ekor tumbuh 13% dibandingkan dengan tahun lalu 1,3 miliar ekor.Menurut Krissantono, harga bibit ayam atau day old chiken (DOC) pernah Rp800 per ekor. Padahal, modal yang dikeluarkan untuk pembibitan Rp3.250 per ekor. Harga, menurutnya, ditentukan oleh mekanisme pasar.Namun, kapasitas prpoduksi perunggasan masih dapat ditingkatkan karena ada peluang pasar domestik cukup tinggi, teknologi cukup tinggi, lahan budidaya luar Jawa cukup luas, dan bahan baku pakan cukup tersedia, kendati masih impor jagung pada tahun lalu 1,9 juta ton. Dia menuturkan omset industri perunggasan nasional mencapai Rp120 triliun per tahun.Sementara itu, industri pembibitan ayam ras masih terbatas sekitar 11 perusahaan yang bergerak pada bidang grand parent stock, 34 perusahaan yang bergerak dibidang parent stock, dan untuk final stock  (peternak yang memelihara, merawat dan membesarkan sampai menjual) cukup banyak tersebar di seluruh di pedesaan di Indonesia."Perusahaan yang bergerak di bidang GPS, PS, dan FS masih mengusahakan sumber induk dari impor."Ayam induk impor itu nantinya menghasilkan telur yang harus ditetaskan menjadi anak ayam. Penetasan DOC memerlukan alat yang masih diimpor dari AS, Eropa, dan China.Menurutnya, produksi anak ayam untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia rata-rata sebesar 31 juta ekor per pekan atau 1,6 miliar ekor per tahun.Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) F.X. Sudirman mengatakan setiap kali ada pergerakan ekonomi dunia, maka akan memengaruhi produksi unggas.AS merupakan produsen ayam terbesar di dunia mencapai 16 juta ton per tahun disusul China 10 juta ton per tahun, Brasil, Meksiko, dan Indonesia sekitar 1,6 juta ton."Tahun depan jika benar pertumbuhan Indonesia di atas 10%, maka bisa mencapai 2 juta ton daging ayam broiler per tahun," ujarnya.Dia mengeluhkan biaya produksi di dalam negeri masih lebih tinggi yaitu US$1.200 per ton daging ayam, sedangkan di AS hanya US$1.000 per ton). Tantangan lain, katanya, konsumsi daging ayam di Indonesia masih rendah.Sementara itu, harga daging ayam dan telur akan dipengaruhi oleh fluktuasi harga jagung, karena akan menyebabkan kenaikan harga pakan ternak. Pergerakan harga jagung dunia sejak 2008 – 2011, katanya, cukup tinggi.Salah satu faktor yang menyebabkan harga jagung terus naik, karena ada konversi jagung untu energi semakin tinggi pemakaiannya di AS yang gencar memproduksi ethanol."Orang AS selalu melobi negara lain untuk pemakaian jagung sebagai sumber energi. Konsumsi jagung dunia juga tinggi. Namun, produksi tidak diikuti percepatan pertumbubuhan konsumsi."Stok jagung pada akhir tahun lalu sekitar 157 juta ton, sedangkan stok akhir tahun ini turun menjadi 115 juta ton. Menurutnya, perlambatan ekonomi dunia akan menghambat pertumbuhan konsumsi jagung, sehingga harga komoditas itu akan bergerak turun.Indonesia juga masih impor kedelai sekitar 75% dari total kebutuhan di dalam negeri. Harga kedelai pada 2009 US$300 per ton, tetapi saat ini US$400 – US$500 per ton.Menurutnya, kebutuhan pakan ternak di dalam negeri akan terus bergerak naik. Konsumsi pakan Indonesia pada 2009 – 2012 diprediksikan terus meningkat.Kebutuhan pakan ternak di Indonesia pada 2009 sebanyak 9,7 juta ton, 9,9 juta ton pada tahun lalu, dan pada tahun ini sekitar 11,2 juta ton. Sementara itu, kebutuhan pakan ternak pada tahun depan diperkirakan akan mencapai 12,3 juta ton.Pakan ternak, katanya, sebagian besar digunakan untuk pakan ayam pembibitan sekitar 45%, pakan ayam petelur 44%, dan pakan ayam broiler 9%.Dia mengkhawatirkan ketergantungan industri perunggasan domestik terhadap impor baik bibit ayam maupun pakan ternak."Pertumbuhan impor jagung pada 2008 hanya 170.000 ton, naik menjadi 1,908 juta ton pada 2010, dan 3 juta ton pada tahun ini. Kita masuk 10 besar impor jagung terbesar."Perwakilan dari Pusat Informasi Pasar Unggas (Pinsar) Eddy Wahyudin mengatakan harga ayam broiler masih rendah. Rata-rata harga pakan ternak Rp5.000 per kg, DOC Rp5.000 per ekor, biaya produksi Rp3.000 per kg."Broiler misalnya, mulai Januari dan Februari 2011, saat Indonesia diliputi cuaca ekstrim sehingga gagal produksi, produksi [ayam] turun."Biaya produk telur Rp11.000 per kg, tetapi harga di pasar terus berfluktuasi. Saat terjadi cuaca ekstrim, maka distribusi telur akan terhambat.Menurutnya, harga ayam broiler sepanjang tahun ini cukup buruk, karena kelebihan pasokan yang diawali dengan kondisi under demand yang menyebabkan penumpukan stok di kandang.Eddy memprediksikan anomali cuaca pada tahun depan berisiko menimbulkan gangguan proses produksi unggas.Dia meminta semua pihak mencermati kenaikan produksi untuk memenuhi potensi kenaikan permintaan, sehingga terjadi keseimbangan yang membentuk harga ekonomis bagi semua sektor.Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan Indonesia masih bergantung impor pertanian. Impor jagung dan kedelai masih cukup tinggi. Taregt swasembada selalu tidak tercapai."Keahlian kita memundurkan target swasembada. Sapi [swasembada daging sapi] hampir pasti mundur lagi, karena buat bancakan partai politik. Kebutuhan Indonesia untuk impor pangan naik pesat."Menurutnya, prospek perunggasan pada tahun depan akan baik, karena pendapatan per kapita baru menembus US$3.000 per kapita per tahun, sehingga akan melihat sumber makanan protein seperti daging.Menurutnya, negara dengan perekonomian yang masih bertumbuh, maka sektor peternakan akan terus bertumbuh.Faisal menilai pemerintah tidak fokus, sehingga target swasembada sulit tercapai. Pemerintah, katanya, seharusnya fokus pada komoditas tertentu yang ditargetkan untuk swasembada misalkan kedelai dan jagung, sehingga sumber daya yang dimiliki pemerintah tidak akan tersebar.Direktur Pembibitan Ternak Kementan Abubakar mengatakan konsumsi telur di Tanah Air 1 butir per pekan, sedangkan Malaysia 1 butir per hari.Konsumsi daging ayam di Tanah Air 1 ekor ayam per 4 bulan, sedangkan di Malaysia 3 ekor per bulan. Konsumsi telur rata-rata di Indonesia 87 butir per kapita per tahun, sedangkan daging ayam 7 kg per kapita per tahun.Kondisi perunggasan saat ini Industri bibit unggas masih sedikit karena padat teknologi dan modal, ketergantungan impor bibit grant parent stock (GPS) masih 100%, bibit parent stock masih impor jika produksi di dalam negeri tidak mencukupi.Oleh karena itu, katanya, perlu penataan ulang industri perunggasan atau restrukturisasi perunggasan. Pada sektor hulu yaitu pembibitan yang belum berjalan seperti proses sertifikasi, pengawasan dan kawasan serta pakan yang masih tergantung pada bahan baku impor. (Bsi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper