Bisnis.com, JAKARTA - Tanggal 2 Mei 2025 adalah tepat 30 hari setelah Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengenakan tarif resiprokal kepada lebih dari 60 negara partner dagang salah satunya adalah Indonesia dengan tarif impor sebesar 32% dan baseline tarif 10% yang berati menjadi sekitar 42%.
Formula pengenaan tarif resiprokal memang tidak terdapat dalam kamus perdagangan internasional, kecuali adanya Free Trade Agreement (FTA) di antara keduanya atau sekelompok negara, apalagi hal itu didasarkan atas besaran defisit neraca perdagangan. AS menunjukkan kedigdayaannya melalui politik perdagangan yang selama ini sebenarnya sudah dilakukan, tetapi tidak sekeras yang dilakukan oleh Presiden Trump.
Total perdagangan barang dan jasa AS pada 2024 mencapai US$6,9 triliun terdiri dari impor senilai US$3,8 triliun dan ekspor senilai US$3,1 triliun. Terdapat defisit neraca perdagangan barang sekitar US$1,1 triliun dan surplus perdagangan jasa sekitar US$300 miliar. Defisit neraca perdagangan barang sebenarnya sudah terjadi sekitar tiga dekade terakhir.
Keputusan tarif resiprokal tersebut membuat semua negara partner dagang AS terperanjat dan menjadi momentum runtuhnya kepercayaan terhadap perjanjian multilateral perdagangan internasional di bawah naungan Word Trade Organization (WTO) yang beranggotakan 165 negara dan custom teritori.
Beberapa negara partner dagang AS mengambil sikap retaliasi (China, Meksiko, Kanada), tetapi ada yang bersikap diplomasi dan negosiasi (Indonesia, India, Malaysia, Vietnam), ada juga yang melakukan kombinasi negosiasi dan retaliasi (Jepang dan Uni Eropa/EU).
Gertakan AS kelihatannya berhasil jika dilihat dari kehadiran beberapa negara termasuk Indonesia ke Washington DC. Pasar AS adalah pasar ekspor kedua terbesar bagi Indonesia, yakni sekitar 10% dari total ekspor Indonesia yang ditujukan ke AS.
Baca Juga
Kalau dilihat dari pangsanya sebesar 10% memang bisa dikatakan kita tidak perlu terlalu khawatir. Akan tetapi, kalau dilihat dari perincian produk yang diekspor ke pasar AS, masing-masing produk Indonesia mempunyai pangsa yang sangat signifikan antara 20%—60% dari total nilai ekspor produk tersebut ke dunia.
Sejumlah produk ekspor dengan pangsa pasar cukup besar di AS di antaranya; pakaian dan aksesoris pakaian, rajutan, atau kaitan dengan kode produk 61 memiliki pangsa mencapai 61,4%. Total nilai ekspor Indonesia dari produk tersebut yakni US$4,05 juta dan sebagian besar atau senilai US$2,4 juta diekspor ke AS.
Kemudian ada produk furnitur, tempat tidur, kasur penyangga, kasur, bantal di AS memiliki pangsa pasar mencapai 56,1%. Total nilai ekspor produk tersebut US$2,4 juta, dan sebagian besar dikirimkan ke AS senilai US$1,4 juta;
Begitu juga dengan produk olahan dari daging, ikan, dan produk akuatik lainnya memiliki pangsa 57% dengan nilai ekspor ke AS US$761.000. Kemudian barang dari kulit mencapai 56,3% dengan nilai ekspor US$756.500.
Produk-produk ekspor lain juga memiliki pasar cukup besar di AS meskipun tidak mayoritas. Ekspor produk alas kaki, pelindung kaki, dan sejenisnya mencapai pangsa 33,8% di AS; produk karet dan barang-barang dari karet memiliki pangsa 30,7% di AS; dan perlengkapan listrik memiliki pangsa 27,8% di AS.
MENGGANGGU INDUSTRI
Dampak kebijakan resiprokal tarif dan baseline tariff yang ditetapkan AS ini akan sangat mengganggu kepada industri yang memproduksi produk tersebut di Indonesia yang hampir semuanya industri padat karya.
Kelihatannya AS sangat mengetahui posisi Indonesia. Sebagian besar produk-produk tersebut selama ini mendapatkan perlakuan GSP dengan tarif impor 0%. Keadaan ini menjadikan sulitnya produk dari Indonesia untuk bersaing, apalagi importir di AS meminta untuk membagi beban kepada eksportir Indonesia.
Dapat diperkirakan akan terjadi PHK dan goncangan politik dalam negeri. Menko Perekonomian Erlangga Hartarto pada 7 April memberikan indikasi 7 poin posisi Indonesia untuk menyeimbangkan neraca perdagangan dengan membeli lebih banyak dari AS senilai deficit perdagangan dan akan melakukan deregulasi untuk menjawab hambatan tarif dan non tarif yang disampaikan AS pada laporan USTR dalam NTER 20024.
Terdapat 13 halaman laporan tentang Indonesia dengan sekitar 26 isu hambatan non tariff dan meminta Indonesia untuk lebih membuka pasar. Dibanding dengan negara Asean lainnya Indonesia yang paling banyak jumlah halam dan isunya. Walaupun Indonesia telah memberikan komitmen secara tertulis , namun belum ada indikasi dari AS apa yang akan diberikan kepada Indonesia justru kenaikan tarif menjadi 47% kepada Indonesia.
Hal ini menyiratkan apa yang telah disampaikan Indonesia kelihatannya tidak cukup. Indonesia perlu hati-hati dalam melangkah kedepan dan ini pelajaran yg sangat berharga bagaimana Indonesia sebagai negara besar berhadapan dengan partner dagangnya.
Ini adalah forum negosiasi dengan prinsip take and give diperlukan rencana dan persiapan yang baik dengan beberapa skenario berdasarkan kepentingan nasional.
Waktu hanya tinggal 60 hari lagi yang diberikan AS kepada partner dagang yang terkena tarif resiprokal, kecuali China yang telah diberlakukan sejak tanggal 9 April yang lalu. Semoga semua berjalan baik dan win win solution.