Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah kembali menegaskan ingin menggali pajak dari shadow economy alias ekonomi bayangan. Kendati demikian, pakar ragu pemerintah bisa mengantongi banyak penerimaan dari shadow economy.
Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono mendefinisikan kegiatan ekonomi, baik secara legal maupun ilegal, yang tidak masuk ke dalam perhitungan produk domestik bruto (PDB).
Menurutnya, shadow economy bisa dibagi menjadi empat kategori yaitu illegal economy (ekonomi ilegal), unreported economy (ekonomi tak terlapor), unrecorded economy (ekonomi tak terekam), dan informal economy (ekonomi tak resmi).
"Ketika didiskusikan shadow economy, harus disepakati dulu apa cakupan dan pengertian dari shadow economy tersebut. Setelah tahu rinciannya, kita bakal paham apakah realistis jika pajaknya digali," ujar Prianto kepada Bisnis, Kamis (20/2/2025).
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal di Universitas Indonesia (UI) ini mencontohkan illegal economy seperti perdagangan narkoba, prostitusi, perjudian, penyelundupan, dan penipuan.
Oleh sebab itu, sambungnya, pajak tidak dapat dikenakan atas transaksi illegal economy karena aktivitasnya melanggar hukum. Prianto mengatakan aparat penegak hukum harus menindak aktivitas illegal economy terlebih dulu sebelum pajaknya bisa dipungut.
Baca Juga
Sementara itu, dia mencontohkan unreported economy sebagai transaksi ekonomi yang tidak dilaporkan ke otoritas pajak karena menghindari aturan pajak. Untuk hal ini, pajak dapat dikenakan, meskipun tidak mudah melalui pemeriksaan pajak terlebih dulu untuk memastikan utang pajaknya.
Selanjutnya, lanjut Prianto, wajib pajak yang diperiksa tersebut dapat melakukan perlawanan sehingga timbul sengketa pajak. Kasus demikian mengakibatkan otoritas pajak tidak langsung mendapatkan setoran pajak karena harus menunggu putusan pengadilan yang sudah inkrah.
Lalu, dia mencontohkan unrecorded economy sebagai aktivitas ekonomi yang tidak tercatat dan tidak masuk di dalam data resmi seperti pembayaran upah karyawan dilakukan secara diam-diam, pekerjaan mengasuh anak tidak dilaporkan, hingga transaksi barter tidak melibatkan pertukaran uang tunai.
Oleh sebab itu, pajak dapat dikenakan juga meskipun tidak mudah melalui pemeriksaan pajak terlebih dulu untuk memastikan utang pajaknya. Dalam konteks ini, kasusnya sama dengan unreported economy karena wajib pajak dapat mengajukan ketidaksetujuannya sehingga muncul sengketa pajak.
Terakhir, Prianto mencontohkan informal economy sebagai transaksi di pedagang asongan/kaki lima/keliling, warung, toko kelontong, pekerja rumah tangga, tukang ojek, penarik becak, pengemudi bajaj, pemulung sampah, dan sejenisnya. Menurutnya, tidak banyak pajak yang dapat dipungut dari sektor ekonomi informal.
Dia pun menyimpulkan berdasarkan empat jenis shadow economy, potensi pajak yang dapat digali hanya di sektor unrecorded dan unreported economy.
"Namun demikian, peluang untuk mendapatkan cuan pajak tidak mudah karena akan ada perlawanan pajak. Otoritas pajak tidak bisa secara langsung memungut pajak," kata Prianto.
Di samping itu, direktur eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute itu menekankan sektor unrecorded dan unreported economy dapat menyumbang pajak apabila wajib pajaknya setuju dengan perhitungan pajak oleh petugas pajak.
Kondisi demikian, jelasnya, terjadi selama perhitungan pajak dari kantor pajak didukung oleh bukti yang kuat. Ringkasnya, Prianto menilai target tambahan penerimaan negara sebesar Rp1.464 triliun setiap tahunnya dari shadow economy kurang realistis.
Angan-Angan Tambah Setoran Pajak dari Shadow Economy
Target tambahan penerimaan negara sebesar US$90 miliar atau sekitar Rp1.464,75 triliun (asumsi kurs JISDOR Rp16.275 per dolar AS) per tahun itu sendiri disampaikan oleh adik Presiden Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, ketika menjadi panelis dalam acara Indonesia Economic Summit di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat pada Rabu (19/2/2025).
Hashim menjelaskan bahwa persentase penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia merupakan salah satu yang terendah di antara negara-negara besar yaitu sekitar 12,2%.
Dia pun membandingkan Indonesia dengan Kamboja dan Vietnam. Menurutnya, persentase penerimaan negara terhadap PDB Kamboja mencapai 18% sementara Vietnam mencapai 23%.
"Jadi, pemerintah akan segera memulai program untuk meningkatkan penerimaan negara dan target kami adalah [seperti] Kamboja dan akhirnya Vietnam," jelas Hashim.
Pendiri Arsari Group itu mengungkapkan caranya yaitu dengan memajaki ekonomi bayang alias shadow economy. Dia mengungkap bahwa PDB Indonesia saat mencapai sekitar US$1,5 triliun.
Hashim pun mengutip temuan Bank Dunia yang memperkirakan ekonomi bayangan di Indonesia mencapai 25% sampai dengan 30% dari PDB. Oleh sebab itu, dia meyakini jika pemerintah berhasil memajaki aktivitas ekonomi bayangan maka penerimaan negara bertambah drastis.
Dia mengungkapkan pemerintah akan memajaki aktivitas ekonomi bayangan dengan bantuan teknologi terbaru berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) hingga pemantauan elektronik yang terus ditingkatkan.
"Jadi untuk memberi anda contoh, 6% dari US$1,5 triliun adalah US$90 miliar tambahan setiap tahun. Itu adalah target Presiden Prabowo, untuk meningkatkan pendapatan kita sebesar US$90 miliar setahun selama beberapa tahun ke depan dan kami optimis," tutup Hashim.