Bisnis.com, JAKARTA — Badan Gizi Nasional (BGN) mengungkap asal mula usulan tambahan anggaran senilai Rp100 triliun untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Kepala BGN Dadan Hindayana mengakui bahwa pihaknya mengusulkan adanya tambahan anggaran Rp100 triliun untuk mendukung program prioritas yang diusung Presiden Prabowo Subianto.
Dadan bercerita, usulan tambahan dana Rp100 triliun itu bermula saat Presiden Prabowo melayangkan pertanyaan kepada BGN. Orang nomor satu di RI itu, kata Dadan, ingin mempercepat program Makan Bergizi Gratis untuk bisa menjangkau penerima manfaat.
“Pak Presiden [Prabowo] ingin ada percepatan [MBG] dan ditanya kalau dilakukan mulai September perlu uang berapa? Kami menjawab Rp100 triliun. Jadi BGN menjawab sesuai pertanyaan kalau keinginan Presiden dilaksanakan,” kata Dadan kepada Bisnis, Kamis (23/1/2025).
Meski begitu, Dadan mengeklaim bahwa anggaran senilai Rp71 triliun yang telah digelontorkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk program MBG cukup hingga akhir tahun.
“Iya, betul [anggaran Rp71 triliun cukup sampai akhir 2025],” ungkapnya.
Baca Juga
Dia merincikan dari anggaran senilai Rp71 triliun itu akan digunakan secara bertahap. Pada Januari—April 2025, BGN menargetkan untuk melayani 3 juta penerima manfaat melalui 937 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Kemudian, BGN akan melayani 6 juta penerima manfaat MBG pada April—Agustus. Lalu, pada akhir Agustus—Desember 2025 bakal melayani 15–17,5 juta penerima manfaat MBG melalui 5.000 SPPG.
Sebelumnya, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai penambahan anggaran program MBG justru akan membuat negara menjadi lebih banyak berutang dan menjadi beban tersendiri bagi pemerintah.
Di samping itu, program unggulan Presiden Prabowo ini bisa memicu melebarnya defisit APBN. Menurut dia, solusi dari program MBG yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto bukanlah penambahan anggaran.
“Untuk makan bergizi gratis ini, solusinya bukan menambah anggaran. Karena anggaran Rp71 triliun sebenarnya sudah sangat besar,” kata Bhima kepada Bisnis, Selasa (21/1/2025).
Bhima menilai bahwa program MBG semestinya jangan mengambil porsi terlalu besar, lantaran masih ada kebutuhan prioritas lain yang tidak kalah penting. Misalnya, untuk mendorong hilirisasi, belanja pendidikan, belanja kesehatan, hingga infrastruktur pendukung sektor pertanian.
“MBG ini jangan sampai mengambil porsi yang terlalu besar, sehingga menjadi beban bagi defisit APBN,” ujarnya.
Bhima juga menyebut jika anggaran MBG terus dipaksa maka akan berdampak pada penambahan utang negara.
“Implikasi MBG ini kalau dipaksakan terhadap beban dari defisit APBN, konsekuensinya akan menambah utang, dan 2025 beban bunga utang menjadi salah satu yang cukup mahal. Dan ini akan mendorong APBN untuk berutang, untuk nutup utang lagi. Jadi MBG akan jadi beban, bukan mendorong produktivitas di level masyarakat,” ujarnya.
Untuk itu, menurutnya, semestinya sejak awal pemerintah memfokuskan program MBG berdasarkan wilayah dan individu.
Semestinya, imbuh dia, pemerintah memfokuskan pada daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) untuk menghemat anggaran yang terbatas.
Pemerintah juga dinilai perlu menyasar penerima manfaat secara perorangan. Misalnya, jika program MBG menyasar sekolah di perkotaan, maka pemerintah hanya perlu memberikan subsidi untuk kalangan miskin.
“Jadi untuk yang anaknya orang kaya dikenakan iuran. Nah, yang miskin digratiskan. Itu bisa menghemat anggaran,” pungkasnya.