Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai nasib dari solusi 2 Pilar Pajak Global akan berbeda setiap pilarnya usai Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan bahwa negaranya undur diri dari kesepakatan tersebut.
Direktur Riset dan Konsultasi Fiskal Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji melihat Pilar 1 memiliki kemungkinan akan sulit terwujud karena AS yang memiliki sederet perusahaan multinasional (PMN) raksasa, memberikan penolakan.
"Pilar 1 yang berupaya untuk menjamin hak pemajakan dan alokasi pajak yang lebih adil bagi negara pasar, penolakan AS bisa berdampak bagi kegagalan penerapannya," ujarnya, Rabu (22/1/2025).
Dalam Pilar 1 khususnya Amount A, akan dikenakan bagi perusahaan multinasional yang besar dan memiliki pendapatan global grup di atas 2 miliar euro serta profitabilitas lebih dari 10%.
Hal yang menjadi persoalan, lanjut Bawono, pengenaannya baru berlaku jika 30% negara yang mewakili 60% ultimate parent entity (UPE) global menandatangani.
Sementara AS merupakan lokasi parent dari berbagai PMN raksasa. Artinya, dengan penolakan dari AS, Pilar 1 terancam tidak akan terwujud.
Berbeda dengan Pilar 2 Pajak Global yang mengatur pajak minimum global, akan tetap berjalan karena bersifat common approach atau tidak wajib diimplementasikan.
Meski demikian, setiap negara harus menghormati/tunduk jika negara tempat afiliasi PMN tertentu menerapkan pajak minimum global.
"Dengan atau tanpa keterlibatan AS, pajak minimum global di tiap negara, termasuk Indonesia, dapat terus dilakukan," lanjutnya.
Terlebih, AS memiliki memiliki mekanisme serupa pajak minimum global yang disebut sebagai Global Intangible Low-Tax Income (GILTI) dan berlaku secara unilateral.
Justru, permasalahan yang mungkin muncul adalah keputusan AS tersebut mempengaruhi negara-negara lain untuk berpartisipasi atau tidak dalam kesepakatan yang diluncurkan oleh The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Sementara itu, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar turut melihat memang selama ini Pemerintah AS belum mengimplementasikan Pilar 2 karena proses legislasi domestik masih mentok di kongres. Padahal, AS kala di bawah Presiden Joe Biden menjadi inisiator dari adanya pajak minimum global.
Fajar menjelaskan bahwa salah satu alasan peliknya proses di Kongres AS adalah karena mereka sudah terlebih dahulu ada ketentuan pajak minimum, yakni GILTI. Bahkan pajak minimum global boleh dibilang meniru mekanisme GILTI.
Untuk itu, meski berbeda nama kebijakan, pajak minimum global tersebut dapat terus berjalan beriringan, antara GILTI maupun pajak minimum global.
Sebagaimana pertukaran data otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI). Di mana AS tidak ikut AEOI, tetapi mereka memiliki Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA).
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump resmi mengeluarkan memorandum yang menyatakan bahwa Negeri Paman Sam tidak akan mengikuti kesepakatan dari solusi 2 Pilar Pajak Global.
Dalam bagian pertama memorandum tersebut, Trump meminta menteri keuangan dan perwakilan tetap Amerika Serikat di OECD untuk menarik diri dari kesepakatan tersebut.
"Setiap komitmen yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya atas nama Amerika Serikat sehubungan dengan Kesepakatan Pajak Global tidak memiliki kekuatan atau pengaruh di Amerika Serikat tanpa adanya tindakan oleh Kongres yang mengadopsi ketentuan-ketentuan yang relevan dari Kesepakatan Pajak Global," ujar Trump seperti tercantum di laman resmi White House, dikutip pada Selasa (21/1/2025).
Lantas, bagaimana nasib pajak minium global yang baru Indonesia terapkan per 1 Januari 2025?