Bisnis.com, JAKARTA – Rencana investasi Apple Inc., sebesar US$1 miliar atau setara Rp16 triliun untuk membangun pabrik di Indonesia dianggap hanya mendatangkan keuntungan singkat. Pakar meragukan manfaat jangka panjang dari komitmen investasi tersebut.
Adapun, investasi tersebut sebagai upaya Apple untuk memenuhi kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sehingga dapat leluasa memperdagangkan produk-produknya, termasuk iPhone 16 yang hingga saat ini masih dilarang.
Peneliti Senior Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta mengatakan, kebijakan pemenuhan konten lokal yang diwajibkan pemerintah bagi investor dinilai dapat menjadi bumerang bagi Indonesia.
“Sekarang bukan waktu yang tepat untuk bermain keras. Ini bisa menjadi permainan yang berbahaya,” kata Krisna, dikutip dari Bloomberg, Senin (23/12/2024).
Keputusan Apple tersebut merupakan respons terhadap kebijakan persyaratan TKDN, yang mendorong raksasa teknologi itu untuk menaikkan investasinya dari US$10 juta menjadi US$1 miliar.
Indonesia memang disebut hampir berhasil mengamankan investasi besar dari Apple. Namun, beberapa analis memperingatkan bahwa kebijakan proteksionis Indonesia bisa berbalik merugikan.
Baca Juga
Terlebih, pemerintah Indonesia tengah menarik lebih banyak investasi langsung asing (FDI) untuk mendorong sektor manufaktur dan mencapai target pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 8% dalam 5 tahun ke depan.
Dalam hal ini, dia juga menyoroti upaya pemerintah Indonesia yang sedang mempertimbangkan untuk meningkatkan rasio konten lokal dari 35% untuk ponsel dan tablet. Bahkan, Kementerian Perindustrian dikabarkan akan menghapus jalur investasi yang digunakan Apple sebelumnya, yaitu skema inovasi dengan mendanai akademi pengembang.
Hal ini dinilai akan mempersempit ruang bagi investor atau perusahaan dengan lebih sedikit pilihan, memaksa mereka untuk memproduksi komponen atau aplikasi secara lokal.
Dengan semakin majunya teknologi, memenuhi persyaratan ini menjadi semakin sulit. Apalagi, Indonesia masih kekurangan infrastruktur untuk memproduksi komponen seperti earbud nirkabel, sebuah kesenjangan yang semakin terasa ketika perusahaan beralih ke teknologi nirkabel.
Sebagai perbandingan, negara-negara tetangga seperti Vietnam dan India menawarkan kebijakan yang lebih ramah investor, seperti insentif pajak dan regulasi yang lebih longgar sehingga mereka lebih menarik bagi produsen asing.
“Tanpa skala tersebut, akan lebih sulit bagi perusahaan untuk membenarkan biaya tetap yang besar untuk mendirikan pabrik manufaktur di sini,” kata Gupta.
Vietnam, misalnya, telah menjadi pusat bagi pemasok Apple. Pemerintahnya menawarkan berbagai insentif seperti pengaturan transportasi bagi pekerja, pembebasan lahan untuk asrama, dan bahkan melakukan koordinasi langsung dengan kantor pusat Apple di Cupertino, California untuk memastikan operasi berjalan lancar.
Jia Hui Tee, analis kebijakan perdagangan senior di Hinrich Foundation memperingatkan bahwa pembatasan di Indonesia bisa membuat investor lebih memilih pasar yang lebih liberal seperti Vietnam, yang pada akhirnya dapat merugikan posisi Indonesia dalam rantai pasokan global.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia David Sumual menyampaikan kekhawatirannya dengan menyatakan bahwa persyaratan konten lokal yang ketat dapat menghalangi investasi asing lainnya.
“Kebijakan ini juga bisa mengurangi FDI dengan meningkatkan biaya, memperkenalkan kompleksitas regulasi, dan mewajibkan lokalisasi di sektor-sektor di mana pemasok domestik seringkali tidak memiliki kapasitas untuk memenuhi standar global,” ujar Sumual.
Sebelumnya, laporan dari Kamar Dagang Amerika pada bulan November memperingatkan bahwa kebijakan tersebut dapat menyebabkan penurunan tingkat produksi dan biaya yang lebih tinggi.
Sebab, perusahaan seringkali terpaksa mengandalkan bahan baku yang lebih mahal atau berkualitas lebih rendah yang sulit ditemukan secara lokal.