Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia tengah berunding dengan Amerika Serikat dan Rusia terkait perolehan teknologi untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Vivi Yulaswati menuturkan, Indonesia berencana mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir paling cepat pada tahun 2036 untuk mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil.
Dia menuturkan, Indonesia terbuka untuk reaktor modular kecil dan teknologi nuklir konvensional, katanya dalam sebuah wawancara video.
Di Indonesia, pembangkit listrik tenaga nuklir telah menjadi topik kontroversial karena negara itu rawan gempa bumi. Ketika ditanya apakah pesanan telah dilakukan, Yulaswati mengatakan masih terlalu dini untuk itu terjadi.
"Kita harus mendapatkan restu dari presiden, dan tentu saja, kita harus berbicara dengan mitra internasional. Saya pikir, perjalanan masih sangat panjang," katanya dikutip dari Bloomberg, Minggu (1/12/2024).
Tiga puluh negara, sembilan di antaranya berada di Asia, menggunakan tenaga nuklir untuk pembangkit listrik, data dari lembaga pemikir energi Ember menunjukkan.
Baca Juga
Indonesia, negara dengan lebih dari 275 juta penduduk, merupakan bagian terbesar dari peningkatan penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik di Asia Tenggara. Lebih dari separuh kapasitasnya saat ini menggunakan tenaga batu bara, sedangkan sumber energi bersih termasuk tenaga air hanya menyumbang kurang dari 15%.
Indonesia berencana untuk menawarkan peluang kepada investor internasional untuk membangun 75 gigawatt (GW) energi terbarukan selama 15 tahun ke depan.
Namun, pendanaan tetap menjadi masalah. Indonesia dijanjikan US$20 miliar sebagai bagian dari Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) G7 yang diluncurkan pada 2022, tetapi sangat sedikit uang yang telah dicairkan dan kemajuan yang lambat tersebut telah menghambat upayanya untuk memangkas emisi.
Yulaswati mengatakan JETP sejauh ini telah menyetujui hibah untuk 33 proyek dekarbonisasi di Indonesia senilai $217,8 juta, termasuk satu yang akan meningkatkan jumlah kendaraan listrik di pulau wisata Bali. Enam proyek lainnya senilai $78,4 juta saat ini sedang dibahas, katanya.
Pinjaman hingga US$6,1 miliar telah disetujui, terutama untuk meningkatkan jaringan nasional dan mengembangkan sektor energi terbarukan, tambahnya. Pejabat Indonesia menyalahkan negara-negara Barat karena tidak menyediakan dana konsesi di bawah JETP.
Proyek-proyek JETP belum dilaksanakan, katanya, seraya menambahkan bahwa pendanaan akan dimulai tahun depan yang merupakan saat dimulainya siklus perencanaan ekonomi 5 tahun Indonesia berikutnya.