Bisnis.com, SURABAYA — Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyebut tarif pungutan ekspor (PE) minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) yang ditetapkan pemerintah membuat harga CPO di pasar internasional menjadi lebih stabil.
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman memandang PE alias export levy merupakan bentuk sumbangsih para pelaku industri kelapa sawit di dalam rangka pencapaian visi dan misi Indonesia Emas pada 2045. Hal ini sejalan dengan kontribusi industri kelapa sawit yang besar terhadap perekonomian Indonesia.
“Kebijakan tarif pungutan ekspor, sebagai contoh, berdampak pada harga CPO di pasar internasional yang cenderung lebih stabil,” kata Eddy dalam acara Sosialisasi Pelaksanaan Eksportasi dan Pungutan Ekspor atas Kelapa Sawit, CPO, dan Produk Turunannya di Hotel Ciputra World Surabaya, Jawa Timur, Kamis (21/11/2024).
Menurut Eddy, harga CPO yang cenderung stabil ini memberikan kepastiaan biaya bagi eksportir. Dengan begitu, lanjut dia, akan membantu menjaga daya saing harga CPO atau produk-produk turunannya di pasar global.
Tercatat, sampai dengan pertengahan November 2024, harga referensi CPO yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) berada pada kisaran antara US$746–US$961 per metrik ton, atau secara rata-rata sebesar US4835,98 per metric ton.
“Angka ini memang lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata 2023 yaitu yang sebesar US$832,6 per metric ton,” imbuhnya.
Baca Juga
Lebih lanjut, Eddy menyampaikan bahwa keberpihakan pemerintah kepada industri kelapa sawit juga bukan hanya kepada pengusaha, melainkan juga kepada para pekebun sawit rakyat. Dia menyebut, kebijakan pungutan ekspor memberikan dampak kepada stabilitas harga Tandan Buah Segar (TBS).
“Dengan struktur harga yang lebih terkendali, perusahaan pengolah sawit memiliki margin yang lebih baik untuk membeli TBS dari petani dengan harga yang relatif lebih stabil,” ungkapnya.
Adapun, harga TBS pada 8 provinsi penghasil kelapa sawit menunjukkan angka di kisaran antara Rp2.459–Rp3.163 per kilogram sampai dengan pertengahan November 2024. Atau, secara rata-rata sebesar Rp2.813 per kilogram. Harga ini meningkat jika dibandingkan dengan rata pada 2023 yang sebesar Rp2.425 per kilogram.
Dia pun memandang, kebijakan pungutan ekspor telah berhasil mendorong hilirisasi dengan komposisi ekspor CPO yang terus menurun dan produk hilir refined terus meningkat. “Di mana, di tahun 2024 produk CPO yang diekspor hanya sebesar 7%, sedangkan refined sebesar 65%,” tuturnya.
Sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengungkap akan meninjau ulang (reviu) terkait PE CPO. Perlu diketahui, saat ini pungutan ekspor CPO yang ditetapkan pemerintah adalah 7,5%.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Dida Gardera menilai, dengan adanya tinjauan ulang pungutan ekspor CPO akan membuat petani lebih sejahtera dan memicu daya saing sawit menjadi lebih kompetitif.
“Harusnya kan memang pungutan ekspor [CPO] itu secara reguler kita evaluasi,” ujar Dida saat ditemui di sela-sela acara bertajuk Menggapai Kedaulatan Pangan, Energi Terbarukan dan Ekonomi Melalui Perkebunan Sawit Untuk Menuju Indonesia Emas 2045, di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (18/11/2024).
Dia menjelaskan, tinjauan ulang ini didasari dari dua premis. Pertama, harga Tandan Buah Sawit (TBS) yang meningkat menandakan kesejahteraan petani juga meningkat. Kedua, harga kompetitif di tingkat global. “Ini kan kemarin kalau kita lihat kurang lebihnya produksi kita relatif tetap lah ekspor, tetapi harga meningkat terus, berarti kan harga bagus,” terangnya.
Untuk itu, lanjut Dida, pemerintah akan meninjau ulang alias evaluasi PE CPO setiap 3 bulan-6 bulan sekali. Dia pun tak mengelak dalam waktu dekat pemerintah bakal mengubah ketentuan PE CPO.
Selain itu, Dida menyebut evaluasi PE CPO juga didasarkan dari banyaknya kebutuhan dalam negeri, serta keuangan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan. “Belum tentu diubah, pokoknya kan tergantung review kita nanti,” terangnya.
Maka dari itu, dia kembali menekankan perubahan PE CPO akan tergantung dari kesepakatan reviu. “Riviu itu artinya bisa tetap [PE CPO sebesar 7,5%], bisa diubah. Jadi belum tentu ada perubahan, tergantung reviunya,” terangnya.
Menanggapi hal itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) meminta agar pemerintah tetap menjaga pungutan ekspor (PE) minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) di level 7,5%. Adapun, sebenarnya PE CPO ini telah ditetapkan turun.
Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan bahwa penurunan pungutan ekspor CPO menjadi 7,5% ini lantaran ekspor CPO dan produk turunan merosot. Di mana, harga minyak sawit dunia lebih mahal dibanding minyak matahari dan minyak kedelai.
“Dengan kondisi saat ini sebaiknya dijaga dulu competitiveness. Sementara ini [PE CPO] tetap di 7,5% sampai nanti kita lihat evaluasi di tahun depan seperti apa,” kata Eddy saat dihubungi Bisnis, Senin (18/11/2024) malam.