Bisnis.com, JAKARTA — Mulai tahun depan, pemerintah harus membayar utang jatuh tempo yang berasal dari kesepakatan Surat Keputusan Bersama (SKB) II kepada Bank Indonesia. Setelah sebelumnya melakukan penarikan utang secara besar-besaran selama Covid-19 menghantam.
Mengingat kebutuhan pembiayaan penanangan Covid-19 yang tidak sedikit, membuat pemerintah menerapkan kebijakan burden sharing atau berbagi beban bersama Bank Indonesia (BI).
Tercatat dari penerbitan SBN dalam rangka SKB II dan SKB III tersebut, terdapat SBN berupa SUN seri Variable Rate (VR) yang khusus dijual kepada BI di Pasar Perdana dalam rangka SKB II dan SKB III 2021 dengan total nilai sebesar Rp612,56 triliun.
Jatuh tempo utang tersebut mulai pada 2025 senilai Rp100 triliun, dan akan berlanjut dengan angka variatif hingga 2029.
Angka tersebut belum termasuk utang jatuh tempo untuk SKB III yang dilakukan pada 2022 senilai Rp224 triliun. Pasalnya, SKB III tersebut baru akan jatuh tempo mulai 2027.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede melihat salah satu cara umum yang sedang dipertimbangkan pemerintah untuk melunasi utang jatuh tempo tersebut adalah debt switching, yakni mengonversi utang jangka pendek menjadi utang jangka panjang.
Baca Juga
Menurutnya, jika pemerintah memilih debt switching, ini memungkinkan pemerintah untuk mengelola risiko jatuh tempo utang dengan memperpanjang waktu pembayaran, sehingga tidak ada tekanan fiskal yang langsung dan besar pada satu periode.
“Namun, bisa jadi ada peningkatan beban bunga jangka panjang, terutama jika penerbitan obligasi baru memiliki tingkat bunga yang lebih tinggi,” ujarnya, Minggu (27/10/2024).
Beberapa opsi lain yang dapat diambil oleh pemerintah, Josua menyebutkan soal penerbitan SBN baru untuk membayar utang yang jatuh tempo alias refinancing. Dalam hal ini, pemerintah perlu memastikan penetapan suku bunga yang menarik bagi investor tetapi tetap dalam batas fiskal yang sehat.
Meski dapat memperpanjang profil utang jatuh tempo pemerintah, langkah ini juga dapat meningkatkan beban pembayaran bunga, terutama jika penerbitan dilakukan pada suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan beban bunga utang yang jatuh tempo.
Langkah alternatif lainnya, kata Josua, yakni pemerintah dapat menggunakan dana dari cadangan, yang dialokasikan untuk keperluan darurat atau stabilisasi fiskal. Melalui cara kedua ini, diperkirakan dapat mengurangi kebutuhan penerbitan utang baru, tetapi mengurangi fleksibilitas fiskal untuk menanggapi keadaan darurat lainnya atau stabilisasi ekonomi.
Sementara cara ketiga, yakni dengan meningkatkan penerimaan pajak atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dapat diarahkan untuk membayar utang tersebut.
“Peningkatan penerimaan ini bisa mengurangi tekanan pada utang baru, tetapi efektivitasnya sangat bergantung pada waktu dan implementasi reformasi pajak yang sedang berlangsung,” lanjutnya.
Pada akhirnya, Josua berpandangan strategi terbaik harus mempertimbangkan stabilitas fiskal, keberlanjutan utang, serta efek terhadap pasar modal, termasuk dampaknya terhadap rating kredit pemerintah dan kepercayaan investor.
Senada dengan Josua, Ekonom dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Fithra Faisal Hastiadi menyampaikan langkah refinancing tampaknya akan menjadi pilihan selain debt switching.
Melihat Asumsi Dasar Ekonomi Makro 2025, Kementerian Keuangan memasang target yield SBN tenor 10 tahun di angka 7%. Lebih menarik dari posisi kuartal III/2024 yang sebesar 6,43%.
“Yang paling mungkin refinancing, dengan sudah diakomodasi yield yang lebih tinggi tahun depan,” tuturnya, Minggu (27/10/2024).
Sementara itu, otoritas fiskal dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto hingga saat ini belum merespon langkah yang akan pemerintah ambil.
Lantas, keputusan apa yang bakal pemerintah ambil untuk pelunasan utang tahun depan?