Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Melihat Dampak Insentif Likuiditas Bank Diperluas, Bisa Tekan Jumlah Pengangguran?

Langkah Bank Indonesia memperluas kebijakan insentif likuiditas dinilai akan berdampak besar kepada pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
Ilustrasi pekerja mengerjakan proyek bangunan. Dok Freepik
Ilustrasi pekerja mengerjakan proyek bangunan. Dok Freepik

Bisnis.com, JAKARTA — Langkah Bank Indonesia dalam memperluas kebijakan insentif likuiditas makroprudensial ke sektor yang mendukung penciptaan lapangan kerja seperti pertanian dan UMKM, dinilai menjadi langkah tepat. 

Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) Andry Asmoro menilai kebijakan tersebut sebagai salah satu langkah yang akan berdampak besar kepada pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Melalui insentif bagi perbankan tersebut, akan banyak sektor yang merasakan manfaatnya. 

Namun, Asmo melihat kebijakan ini tidak dapat berjalan sendiri. Melainkan harus diimbangi dengan langkah pemerintah dalam memberikan kebijakan fiskal. 

Pertama, memangkas biaya-biaya input sektor produksi. Kedua, mengembalikan daya beli masyarakat agar produk-produk industri lebih meningkat. Ketiga, menjaga kestabilan harga pangan utama agar kantong masyarakat tidak semakin mengecil. 

"Kebijakan ekspansif fiskal dan moneter tentu akan mendorong perbankan menyalurkan kredit produktif," tuturnya, dikutip Jumat (18/10/2024).

Kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) merupakan jamu manis dari Bank Indonesia (BI) — berupa penurunan giro wajib minimum (GWM) yang besarannya tergantung besarnya kredit yang dikucurkan — bagi perbankan untuk mengucurkan kredit ke sektor-sektor prioritas yang telah ditentukan.  

Sebelumnya, BI memberikan insentif likuiditas demi mendorong pertumbuhan ekonomi atau pro-growth. Di mana sektor yang menjadi prioritas adalah hilirisasi (minerba dan nonminerba), perumahan, pariwisata, dan sektor otomotif, perdagangan, LGA, dan jasa sosial. 

Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menyebutkan KLM tidak hanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan daya beli, tetapi juga untuk mendukung penciptaan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran, yang akan sangat mendukung target ekonomi pemerintah di masa mendatang.

Peningkatan penyaluran kredit ke sektor-sektor properti hingga otomotif berpotensi meningkatkan permintaan tenaga kerja di sektor konstruksi, manufaktur otomotif, serta jasa pendukung lainnya, yang akan membantu menurunkan tingkat pengangguran. 

Lebih lanjut lagi, peningkatan penyaluran kredit ke sektor padat karya tersebut juga akan berdampak positif pada rantai pasok yang lebih luas, mulai dari sektor produksi bahan bangunan hingga industri komponen otomotif. 

“Dampak ini akan menciptakan lapangan kerja tambahan, yang dapat berkontribusi pada stabilitas ekonomi lokal dan nasional,” ujarnya.  

Akankah Dampak Signifikan? 

Secara umum, pertumbuhan kredit pada September 2024 sebesar 10,85% year on year (YoY). Sayangnya, pertumbuhan kredit UMKM menjadi yang paling rendah, yakni sebesar 5,04%, ketimbang  kredit modal kerja, kredit konsumsi, dan kredit investasi, masing-masing sebesar 10,01% YoY, 10,88%, dan 12,26%. 

Sementara hingga minggu kedua Oktober 2024, BI telah menyalurkan insentif KLM senilai Rp256,5 triliun kepada kelompok bank BUMN sebesar Rp119 triliun, bank BUSN sebesar Rp110,2 triliun,  BPD sebesar Rp24,6 triliun, dan KCBA sebesar Rp2,7 triliun.

Untuk itu, per 1 Januari 2025 BI berencana melakukan ekspansi sektor prioritas yang pro-job, seperti pertanian dan UMKM.

“Serta sektor yang dapat meningkatkan kesejahteraaan masyarakat, termasuk kelas menengah bawah, segmen UMKM dan Ultra Mikro (UMi) serta sektor hijau, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (17/10/2024).

Meski demikian, peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan di LPEM FEB UI Teuku Riefky melihat semangat bank sentral dalam menekan jumlah pengangguran tidak akan berdampak signifikan. 

Riefky menyebutkan isu saat ini berkembang adalah dunia usaha belum produktif karena investasi yang terhambat dan iklim usaha yang tidak bersahabat. 

Sebut saja industri tekstil yang semakin ‘rajin’ melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), imbas gempuran produk impor dan lemahnya penegakan hukum dari kementerian terkait. 

“Insentif boleh saja diberikan, itu akan meningkatkan penyerapan kredit dan akan meningkatkan dunia bisnis. Tapi tak akan terlalu signifikan sampai isu tersebut selesai,” tuturnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper