Bisnis.com, JAKARTA - Ruang bagi perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Karya untuk menyelenggarakan proyek prasarana diprediksi menyempit sejalan dengan dipangkasnya anggaran infrastruktur tahun depan.
Alokasi anggaran infrastruktur yang telah disusun oleh pemerintah untuk tahun depan terpantau turun sebesar 5,5%, yakni dari Rp422,7 triliun dalam APBN 2024 menjadi Rp400,3 triliun dalam RAPBN 2025.
Mengomentari hal itu, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, tidak menafikan potensi dampak yang dihadapi oleh BUMN Karya akibat masalah ini. Terutama, terhadap pendapatan perusahaan.
“Ini berpotensi berdampak pada pendapatan yang biasa diperoleh. Saya kira itu yang akan terjadi. Namun, BUMN mana yang akan terdampak tergantung pada siapa yang akan menggarap proyek dari APBN,” kata Tauhid kepada Bisnis pekan lalu.
Sebagai antisipasi, sambungnya, BUMN Karya harus menyiapkan rencana cadangan. Misalnya, dengan menggarap sejumlah proyek infrastruktur di luar sokongan APBN. Seperti proyek dengan dana bersumber dari penyertaan modal negara (PMN).
“Maka harus ada plan B. Plan B nya adalah menggarap proyek infrastruktur yang tidak berdasarkan ABPN secara langsung, tapi penugasan atau PMN. Sepertinya itu yang memungkinkan walaupun harus mulai ada perubahan orientasi,” kata Tauhid kepada Bisnis baru-baru ini.
Baca Juga
Dalam konteks ini, tambahnya, perusahaan-perusahaan kelas merah terkait pun dituntut rasional dalam membidik proyek berbasis PMN, baik dari sisi finansial maupun ekonomi, sehingga kinerja perusahaan dapat disehatkan.
Bagaimanapun, rasionalisasi ini tidak lepas dari risiko. Termasuk, risiko pelemahan daya dalam mempertahankan kinerja bagi sejumlah perusahaan.
“Untuk hal ini, sebaiknya memang proporsi pendanaan untuk BUMN karya yang kinerjanya sakit mungkin jangan langsung dikurangi, kalau tidak bisa ambruk,” ujar Tauhid.
Sumber Dana Alternatif
Sejatinya, pemerintah sedang berupaya menciptakan sumber-sumber pendanaan alternatif demi mendanai penyediaan infrastruktur secara berkelanjutan menggunakan instrumen peraturan.
Dalam hal ini, beleid yang dimaksud yaitu Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2024 tentang Pendanaan Penyediaan Infrastruktur Melalui Pengelolaan Perolehan Peningkatan Nilai Kawasan (P3NK).
Menggunakan aturan ini, negara melibatkan pemerintah daerah (pemda) sebagai penyelenggara P3NK dengan sejumlah kewenangan – dan dapat didukung oleh pemerintah pusat. Beberapa kewenangan yang diberikan mulai dari mengatur kelembagaan dan tata kelola hingga menetapkan sumber dana P3NK
Namun, pelibatan pemda dikhawatirkan tidak optimal lantaran ihwal pendanaan proyek-proyek berskala jumbo dianggap tidak sesuai dengan karakteristik kewenangan pemda. Pemda, sambungnya, dinilai hanya mampu membiayai kegiatan yang merupakan kewenangan daerah.
Kendati PP 79/2024 mengatur ihwal kerja sama antarpemerintah daerah, Tauhid menyebut, ketentuan ini hanya sebatas penyediaan lahan. Sementara itu, tambahnya, untuk pengerjaan fisik musykil diserahkan ke daerah karena keterbasan kewenangan.
“Kalau misalnya daerah hanya soal pembebasan lahan, itu mungkin bisa dilakukan. Tapi kalau ke fisiknya, saya kira berat bagi mereka,” kata Tauhid.