Bisnis.com, BADUNG - Upaya dan terobosan teknologi yang diterapkan negara-negara di dunia berujung kurang optimal dalam mengatasi masalah krisis air. Indonesia berinisiatif menyatukan komitmen dan tujuan global dalam menekan permasalahan yang makin besar ini.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Dwikorita Karnawati mengatakan, kian hari perubahan iklim terus memperburuk krisis air yang terjadi. Di sisi lain, pemangku kepentingan berjalan sendiri-sendiri dalam mengatasi permasalahan ini.
Padahal, koordinasi dan komitmen yang kuat antar negara bisa menjadi senjata ampuh dalam menanggulangi krisis air akibat perubahan iklim. Oleh karena itu, Indonesia dalam forum air terbesar di dunia menginisiasi pembentukan Center of Excellence on Water and Climate Resilience (CoE) atau Pusat Unggulan dalam Bidang Ketahanan Air dan Iklim.
"Kesimpulannya harus ada koordinasi level dunia," ujar Dwikorita di Bali Nusa Dua Convention Center, Kamis (23/5/2024).
Adapun Pusat Unggulan dalam Bidang Ketahanan Air dan Iklim merupakan kumpulan dari pusat unggulan yang selama ini telah berjalan di seluruh dunia.
Intinya, kata Dwikorita, Indonesia bakal memimpin dalam menghubungkan berbagai pusat unggulan di bidang ketahanan air dan iklim untuk bekerja bersama demi hasil yang lebih efektif.
Baca Juga
AKSI NYATA
Dalam pembahasannya di World Water Forum ke-10 di Bali, Dwikorita mengatakan terdapat sejumlah kelompok kerja yang telah disepakati oleh berbagai negara untuk segera ditindaklanjuti.
Kelompok kerja tersebut di antaranya terkait dengan pengelolaan danau secara berkelanjutan, integrated water resources management di pulau kecil dan negara berkembang, isu peran anak muda dalam ketahanan air dan iklim, serta terkait dengan mekanisme pendanaan proyek ketahanan air dan iklim.
Sebagai insiator dalam merangkul komitmen Pusat Unggulan di berbagai negara, Indonesia memastikan bahwa isu dan penanganan ketahanan air maupun iklim akan dilakukan secara berkelanjutan. Dwikorita menyebut, setidaknya dalam enam bulan sekali Pusat Unggulan akan mengadakan pertemuan secara rutin untuk mencapai solusi mengatasi krisis air dan iklim di berbagai wilayah.
"Semua negara bisa bergabung, tidak hanya di Asia Pasifik, tetapi Eropa juga, dan privat sector. Ini menjadi langkah yang lebih cerdas dalam mengatasi kriris air dan dampak perubahan iklim," tuturnya.
Senada, Kepala Balai Teknik Sabo, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Eka Nugraha Abdi mengatakan, bahwa World Water Forum ke-10 telah resmi menunjuk Sabo Technical Center di Yogyakarta sebagai sekretariat fisik dari Pusat Unggulan Bidang Ketahanan Air dan Iklim.
Menurutnya, hal ini menjadi bukti bahwa tekad Indonesia untuk mengumpulkan komitmen global mengatasi krisis ikim dan air bukan hanya sekadar wacana.
"Kita sebagai fungsi sekretariat, tapi nanti diskusinya bisa di manapun dan bisa berkembang," ujar Eka.
Adapun Balai Teknik Sabo merupakan hasil kerja sama Indonesia dengan Jepang sejak 1958 untuk mengembangkan teknologi dan pengendalian aliran sedimen dalam sebuah bentang alam, khususnya sungai dan gunung.
Sebelumnya, Staf Ahli Menteri PUPR Bidang Teknologi, Industri, dan Lingkungan, Endra S. Atmawidjaja mengatakan bahwa Indonesia bakal menyaras penguatan kerja sama selatan-selatan atau South-South Cooperation (SSC) dalam implementasi Pusat Unggulan Ketahanan Air dan Iklim.
Musababnya, negara-negara di Selatan bumi saat ini cenderung memiliki persoalan yang sama terkait dengan air yaitu banjir, sedimen erupsi yang merusak sungai, dan masalah pengelolaan air lainnya.
"CoE akan menjadi jawaban dari tantangan klim yang kita hadapi sekarang, nantinya kita akan saling mengedukasi, bertukar pikiran, serta berbagi pengalaman untuk mencari solusi terbaik untuk diimplementasikan secara nyata," tuturnya.
DANAU SUMBER KEHIDUPAN
Tekad kuat lainnya yang terus didorong Indonesia dalam World Water Forum ke-10 di Bali yaitu merangkul komitmen dunia untuk memperbaiki ekosistem danau. Sebagai salah satu sumber air baku terbesar, upaya keberlanjutan ekosistem danau dianggap krusial.
Direktur Rehabilitasi Perairan Darat dan Mangrove, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Inge Retnowati menuturkan, konsentrasi berbagai pihak dalam menjaga keberlanjutan eksosistem danau semakin mendesak. Sebab, sumber air baku alami terbesar itu memiliki fungsi penting dalam kehidupan, seperti untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, perikanan, transportasi hingga energi.
Catatan BRIN dan KLHK menyebutkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 2.000 danau yang tersebar di seluruh wilayah. Sayangnya, dia mengakui bahwa tidak sedikit danau alami yang mengalami kerusakan ekosistem, seperti pencemaran air, pendangkalan, hingga penurunan biodiversitas.
Atas kerusakan yang terjadi, pemerintah Indonesia pun telah mencangkan program penyelamatan 15 danau prioritas nasional lewat Peraturan Presiden No.60/2021.
"Kenapa jadi prioritas? Karena kondisinya yang kritis di samping sebagai kebutuhan sumber air yang penting," tuturnya.
Sebagai lesson learn, Indonesia pun dalam Deklarasi Menteri di World Water Forum ke-10 telah mengusulkan penetapan Hari Danau Sedunia sebagai upaya mendongkrak komitmen global dalam menjaga keberlanjutan ekosistem danau. Inge menegaskan, usulan Hari Danau Sedunia didasari untuk mendorong kesamaan visi menjadikan ekosistem danau yang berkelanjutan.
"Kalau kita sudah tidak sama dalam visi, maka penanganan dari berbagai sektor akan berbeda dan tujuan tidak akan tercapai," pungkasnya.