Bisnis.com, JAKARTA- Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) melaporkan produktivitas industri hasil tembakau (IHT), khsususnya segmen sigaret putih mesin (SPM) kembali mengalami penyusutan awal 2024.
Ketua Umum Gaprindo Benny Wachjudi mengatakan pihaknya mencatat pembelian pita cukai Januari 2024 menurun drastis jika dibandingkan dengan periode tahun lalu yang disebabkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) 10% tahun ini.
"Dari data pembelian pita cukai bulan Januari 2023 dibanding bulan Januari 2024 terdapat penurunan pembelian pita cukai sebesar 13,8%," kata Benny kepasa Bisnis, dikutip Kamis (4/4/2024).
Adapun, susutnya pembelian pita cukai di segmen SPM ini menandakan semakin lesunya kinerja produksi hingga penjualan rokok putih pada awal tahun ini. Kondisi ini melanjutkan tren penurunan sejak awal 2023 lalu.
Dia mencatat penurunan yang sama juga terjadi pada periode sepanjang 2023 dibanding pembelian sepanjang tahun 2022 yaitu mengalami penurunan 14,6%.
"Hal ini diduga kuat akibat kenaikan CHT," imbunya.
Baca Juga
Sebelumnya, Benny juga menggambarkan kontraksi kinerja IHT yang tercerminkan dari pembelian cukai. Dia mencatat pembelian cukai pada semester I/2023 sebesar Rp139,4 miliar atau turun 9% dari Rp153,1 miliar pada semester I/2022.
"Sudah barang tentu kenaikan cukai 10% kami anggap ketinggian ditengah ekonomi dan daya beli masyarakat yg masih belum pulih," jelasnya.
Penurunan produktivitas roko putih tak lain disebabkan pergesereran tren konsumsi masyarakat ke produk rokok yang lebih murah, seperti Sigaret Kretek Tangan (SKT) dengan tarif cukai yang lebih rendah dibandingkan segmen lainnya.
Hal ini juga yang menjadi sorotan Ekonom Universitas Indonesia, Vid Adrison yang menyebutkan bahwa meningkatnya konsumsi rokok murah atau downtrading merupakan fenomena pergeseran konsumsi karena kesenjangan harga yang lebar antar produk rokok.
“Downtrading artinya ada kenaikan [produksi] di golongan bawah, yakni di golongan II," kata Vid dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (20/3/2024).
Menurut dia, jika rokok dikenakan cukai yang berbeda-beda, maka masyarakat bebas untuk mengonsumsi produk dengan harga yang lebih rendah.
Struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) menjadi sorotan lantaran tak merata pada setiap golongan produk sehingga memicu peningkatan konsumsi rokok murah di pasaran.
Kondisi tersebut juga menjadi penyebab realisasi penerimaan CHT merosot 2,35% (year-on-year/yoy) menjadi Rp213,48 triliun pada akhir 2023.
Laporan APBN KiTa edisi Januari 2024 juga menunjukkan penurunan realisasi penerimaan CHT dikarenakan penurunan produksi hasil tembakau sebesar 1,8% hingga Oktober 2023.