Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal mengakomodasi tarif pembangkit listrik hibrida dalam rancangan Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Pokok-Pokok Perjanjian Jual Beli (PJBL) Pembangkit Listrik Energi Terbarukan.
Perumusan peraturan setingkat menteri itu menjadi tindaklanjut dari terbitnya Perpres No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang pertengahan 2022 lalu.
“Jadi kajian harga untuk 2024 ini lebih untuk memasukkan tarif pembangkit-pembangkit hibrida,” kata Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Andriah Feby Misna saat ditemui di Jakarta, Selasa (27/2/2024).
Feby mengatakan, pengaturan lebih lanjut pada pembangkit hibrida itu juga diarahkan untuk membantu investasi pada program konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi berbasis energi baru terbarukan (EBT) saat ini.
Sejumlah skema hibrida pembangkit itu, Feby mencontohkan, ihwal kemungkinan penggabungan PLTS dengan PLTD atau pencampuran biomassa atau co-firing.
“Masih dilakukan kajian-kajian dan pembahasan dengan PLN dan juga dengan tim-tim teknis ahli untuk penentuan harga seperti apa,” kata dia.
Baca Juga
Opsi tarif listrik gabungan itu belakangan menjadi solusi di tengah mandeknya investasi pada program dedieselisasi pembangkit PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Tarif gabungan itu dianggap dapat menarik investor bergabung pada program konversi pembangkit berbahan bahan fosil yang saat ini mayoritas tersebar di wilayah-wilayah terpencil.
Seperti diberitakan sebelumnya, PLN tengah melelang proyek dedieselisasi pembangkit listrik berbasis bahan bakar minyak (BBM). Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, lelang program dedieselisasi tahap 1 itu bakal menyasar 94 lokasi yang terbagi ke dalam dua klaster, wilayah barat dan timur Indonesia.
“Kami sudah merancang dan saat ini sudah melakukan lelang, yaitu pembangkit diesel kami yang masih menggunakan BBM, kami gantikan dengan pembangkit EBT yang bisa beroperasi sebagai based load 24 jam,” kata Darmawan saat rapat dengar pendapat Panja Transisi Energi Komisi VI di DPR, Jakarta, Senin (2/10/2023).
Rencananya, kata Darmawan, PLTD yang masuk ke dalam program ini akan digantikan oleh panel surya dengan potensi 200 megawatt (MW). Di sisi lain, terdapat potensi investasi tambahan pada battery energy storage systems (BESS) sebesar 350 MWh pada tahap awal tersebut.
Selanjutnya, potensi pengembangan tambahan untuk tahap dua dan tiga mencapai 800 MWp panel surya. Adapun, hak pengelolaan diberikan selama 20 tahun sejak commercial operation date atau COD.
“Dan untuk itu klaster 1 itu ada 48 lokasi, klaster 2 ada 46 lokasi dengan total megawattnya 200, ada BESS sebesar 350 MWh,” kata dia.
Secara keseluruhan, setidaknya ada sekitar 5.200 unit PLTD berkapasitas 2,37 gigawatt (GW) di 2.130 lokasi yang akan dialihkan melalui program dedieselisasi tersebut.
Adapun, program dedieselisasi pembangkit-pembangkit itu akan dilakukan dengan tiga skema, yakni pertama, konversi PLTD menjadi pembangkit listrik tenaga EBT (PLT EBT) berkapasitas 500 MW.
Kedua, konversi pembangkit listrik tenaga diesel ke gas (gasifikasi) dengan kapasitas 598 MW, dan ketiga, perluasan jaringan ke sistem terisolasi untuk meniadakan pembangkit listrik tenaga diesel dengan kapasitas 1.070 MW.
Sementara itu, sisa PLTD berkapasitas 203 MW masih akan digunakan sebagai sistem black-start saat terjadi pemadaman.
Selain dapat mengejar target bauran EBT, langkah dedieselisasi itu diharapkan juga dapat sekaligus memangkas beban operasional PLN yang makin lebar akibat kenaikan harga minyak mentah dunia.
Seperti yang pernah disampaikan perusahaan setrum pelat merah itu, setiap kenaikan US$1 per barel harga minyak mentah dunia, akan berdampak pada kenaikan biaya operasional pembangkit sebesar US$500.