Selanjutnya, dia membeberkan, usulan pengembangan proyek Bahodopi pada KK 2014 juga tidak menunjukkan kemajuan signifikan dari sisi keekonomian dan kelayakan bisnis. Selain adanya pasal-pasal perjanjian yang memberikan mitra private dividends, dia mengatakan, proyek itu juga belum mendapat pasokan energi yang kompetitif untuk menopang pembangunan pabrik rotary kiln-electric furnace (RKEF).
Proyek ini disebutkan akan menggunakan sumber energi LNG, kendati belum adanya kontrak pasokan yang tercipta.
“Dari ketiga kewajiban dalam KK ini, kami berharap pemerintah dapat melakukan pengkajian dan penilaian sehingga apabila komitmen pengembangan tidak terpenuhi, maka sesuai aturan KK maka perlu dilakukan relinquishment [pelepasan wilayah] di area terkait proyek,” kata dia.
Seperti diketahui, konsesi yang dipegang INCO berdasarkan amandemen KK 2014 lalu mencapai 118.435 hektare yang tersebar di Sulawesi Selatan (70.566 hektare), Sulawesi Tengah (22.699 hektare), dan Sulawesi Tenggara (24.752 hektare).
Pada 2017, luas wilayah KK dikembalikan kepada pemerintah seluas 418 hektare untuk keperluan proyek transmigrasi saat itu. Dengan demikian, sejak 2017 luas wilayah KK menjadi 118.017 hektare.
Kendati demikian, luas wilayah yang telah dimanfaatkan, sejak smelter di Sorowako, Sulawesi Selatan, beroperasi komersial pada 1978, baru mencapai sekitar 7.000 hektare sampai dengan 8.000 hektare atau sekitar 6 persen sampai 7 persen dari keseluruhan total wilayah amandemen KK 2014.
Baca Juga
Sampai dengan Desember 2021, estimasi sumber daya bijih nikel milik INCO sebesar 300 juta ton dengan cadangan sebesar 60 juta ton. Adapun, kapasitas produksi rata-rata sebesar 70.000 ton sampai dengan 80.000 ton setiap tahunnya saat ini.
Manuver Investasi INCO di Akhir Masa Konsesi
Seperti diberitakan sebelumnya, INCO bersama mitranya Huayou Cobalt Co., dan PT Huali Nickel Indonesia menargetkan pengembangan fasilitas produksi 60.000 ton nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik. Vale Indonesia menandatangani perjanjian kerja sama definitif dengan Zhejiang Huayou Cobalt Co. Ltd (Huayou) dan PT Huali Nickel Indonesia (Huali) untuk pembangunan fasilitas pengolahan nikel dengan teknologi HPAL.
Target produksi HPAL tersebut mencapai 60.000 ton nikel dan 5.000 ton kobalt per tahun dalam bentuk produk mixed hydroxide precipitate (MHP), yang dapat diolah lebih lanjut menjadi baterai kendaraan listrik. Proyek ini akan mengolah bijih nikel berjenis limonit dari blok Sorowako, sementara pabrik HPAL akan berlokasi di Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
"Proyek ini, bersama dengan progress terbaru dari proyek HPAL Pomalaa dan proyek Morowali, adalah bagian dari perwujudan komitmen pertumbuhan, dan pemenuhan dari komitmen investasi kami," kata Febriany Eddy, CEO Vale Indonesia, dalam keterangan resmi, Jumat (25/8/2023).
Desnee Naidoo, Presiden Komisaris Vale Indonesia menyampaikan, perjanjian pengembangan HPAL ini adalah capaian strategis untuk Vale, sebagai bagian dari pelaksanaan program investasi senilai US$8,6 juta (sekitar Rp129 miliar) di Indonesia.
“Dengan lebih dari setengah abad beroperasi di Indonesia, PT Vale memiliki posisi yang unik dan berkomitmen untuk mendukung percepatan target Indonesia untuk hilirisasi yang lebih maju, serta untuk menghadirkan rantai pasok kendaraan listrik (EV), dari pertambangan mineral menuju produksi baterai dan kendaraan,” imbuhnya.