Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia punya potensi mengembangkan biomassa berkualitas ekspor, apabila kebutuhan rantai pasok co-firing PLTU batu bara dalam negeri telah terpenuhi.
Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi menjelaskan bahwa co-firing adalah jalan yang paling memungkinkan dalam rangka menggenjot pemanfaatan energi alternatif yang lebih hijau dalam sistem ketenagalistrikan RI.
"Berdasarkan penelitian saya pada 114 PLTU di Sumatra dan Jawa, 52 PLTU terbilang siap terima co-firing. Ini kebijakan positif, karena juga bermanfaat menjadi sumber ekonomi baru, tanpa perlu mematikan pembangkit batu bara," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (7/2/2024).
Adapun, biomassa untuk co-firing PLTU merupakan hasil pengolahan limbah perkebunan, pertanian, hutan tanaman industri, serta sampah perkotaan.
Secara umum, di samping sampah perkotaan, terdapat tujuh sumber limbah organik yang bisa disulap menjadi biomassa, yaitu limbah padi, jagung, singkong, kelapa, kelapa sawit, karet, dan tebu.
Ali pun telah menelaah hingga 14 titik di Sumatra dan 12 titik di Jawa yang bisa menjadi sumber biomassa dengan jenis berbeda-beda.
Baca Juga
"Kemudian, titik di mana storage dan pabrik pengolah harus dibangun supaya keekonomiannya masuk pun sudah bisa diukur. Tinggal tunggu siapa pengusaha yang berani jadi pengepul dan pemroses. Karena sampai sekarang, praktik di pedesaan pun segala sampah pertanian dan perkebunan itu cuma dibakar," jelasnya.
Pada beberapa tempat dengan karakteristik biomassa unggul bahkan bisa dikembangkan menjadi komoditas ekspor. Biasanya, material itu harus mencapai standar kadar air maksimal 8%, kemudian kadar debu 0,5%, dan kalori minimal 4.500 kcal/kg.
Sekadar contoh, satu material bisa memiliki karakteristik biomassa berbeda dengan lainnya. Misalnya, jangung ada empat, dari daun, tongkol, batang, tapi paling bagus dari klobot. Sementara sawit ada lima, di mana yang kalorinya paling bagus dari cangkang sawit.
"Semua perlu proses tersendiri. Nah, kalau pemerintah niat, sebenarnya ada beberapa yang sudah bisa memenuhi standar global, yang sekarang ini ada enam. Artinya, bisa diekspor. Ini juga bisa sekaligus jadi insentif pergantian tanaman yang bisa jadi woodchip & woodpellet setiap sekitar 5 tahun sekali," tambah Ali.
Bagi Ali, co-firing merupakan kebijakan kunci di tengah tren transisi energi, selama fungsi pembangkit batu bara masih menjadi base load andalan sistem ketenagalistrikan RI.
Oleh sebab itu, pengembangan rantai pasok biomassa merupakan keniscayaan. Kalau perlu, pemerintah harusnya mulai meminta seluruh pembangkit independen (IPP) berbasis batu bara memulai co-firing secepatnya, dalam rangka mendorong sisi demand.
Terlebih, secara umum pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) yang bisa diandalkan sebagai base load hanyalah tenaga panas bumi alias geothermal, serta tenaga air (PLTA) berkapasitas jumbo.
Sementara EBT lainnya, seperti tenaga surya dan bayu, hanya mampu berfungsi sebagai intermiten atau pelengkap.