Bisnis.com, JAKARTA - Penerbitan Surat Berharga Negara atau SBN masih diandalkan menjaring pendanaan di luar APBN, tetapi menyimpan potensi risiko besar jika tidak dikelola hati-hati.
Ketua Komite Tetap Kebijakan Publik, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Chandra Wahjudi menilai prinsip kehati-hatian tetap diperlukan pemerintah dalam menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) di tahun ini.
Chandra mengakui, sejumlah kelebihan SBN menjadi daya tarik bagi investor. Menurutnya, investasi lewat SBN cenderung lebih aman dan dilindungi undang-undang. Selain menawarkan bunga lebih tinggi, lanjut dia, pajak penghasilan dari bunga SBN relatif lebih rendah dibandingkan dengan deposito atau tabungan konvensional lainnya.
"SBN yang diterbitkan akan meningkatkan likuiditas pasar yang tentunya akan memberikan stimulus pada ekonomi," ujar Chandra saat dihubungi, Senin (29/1/2024).
Kendati punya keunggulan, tetapi Chandra menegaskan bahwa penerbitan SBN berlebihan juga berisiko memacu kenaikan inflasi. Di sisi lain, kenaikan inflasi akan memberikan tekanan terhadap nilai rupiah dan dampak lainnya.
Adapun pemerintah mematok penerbitan Surat Berharga Negara atau SBN senilai Rp666 triliun dalam APBN 2024. Jumlah itu meningkat hingga 115% dibandingkan dengan realisasi pada 2023 senilai Rp308 triliun.
Baca Juga
"Harapan kami prinsip kehati-hatian dan prudensial tetap dikedepankan ditengah meningkatnya ketidakpastian ekonomi global," kata Chandra.
Berdasarkan catatan Bisnis.com, Kamis (25/1/2024), Kepala Departemen Riset dan Informasi Pasar PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) Roby Rushandie mengatakan saat ini pasar masih akan mencermati kebijakan dovish The Fed. Pasar yang wait and see juga mempertimbangkan Pemilu Indonesia dan Amerika Serikat serta eskalasi konflik Timur Tengah.
“Prospek pasar obligasi tahun ini berpeluang mengalami kenaikan kinerja jika bank sentral menurunkan suku bunga acuan,” kata Roby kepada Bisnis, Kamis (25/1/2024).
Obligasi negara atau SBN juga akan menarik perhatian investor terlebih peringkat surat utang RI diperkirakan masih bertahan seiring dengan stabilnya outlook pertumbuhan ekonomi, dan masih tingginya risiko eksternal yang dapat berpengaruh terhadap kondisi APBN.
Roby menjelaskan SBN dengan tenor pendek menjadi pengaman dari risiko seiring dengan masih tingginya ketidakpastian. Sementara SBN dengan tenor panjang untuk mendapatkan peluang yield tinggi di tengah proyeksi perlambatan ekonomi.