Bisnis.com, JAKARTA - Konsumsi gandum masyarakat Indonesia makin meningkat, pengamat soroti risiko ketergantungan impor yang tinggi.
Guru Besar IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa menyebut, berdasarkan perhitungannya, persentase gandum dalam komposisi pangan pokok masyarakat telah mencapai 28%.
Dia menjelaskan, perhitungan itu dilakukan dengan dasar ketersediaan gandum untuk konsumsi dan jumlah konsumsi gandum per kapita per tahun.
"Dari itungan itu ketemu angka 28%, itu 2022. Saya ambil data dari beberapa tahun," ujar Andreas saat dihubungi, Rabu (24/1/2024).
Dia bahkan memperoyeksikan, apabila tren konsumsi gandum dibiarkan berlanjut, maka persentase gandum dalam pangan pokok masyarakat bisa mencapai 50%.
Menurutnya, makin tingginya konsumsi gandum berisiko pada ketahanan pangan dalam negeri. Musababnya, gandum merupakan komoditas pangan yang 100% pengadannya dilakukan lewat impor.
Baca Juga
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pun mencatat impor gandum dan meslin pada 2023 hingga November mencapai 9,47 juta ton. Jumlah impor tersebut naik sekitar 74.974 ton dari total impor pada 2022 sebanyak 9,40 juta ton.
Meskipun volume impor gandum dan meslin naik, namun nilai impor pada 2023 mengalami penurunan menjadi US$3,34 miliar atau sekitar Rp52,5 triliun. Sementara nilai impor gandum dan meslin pada 2022 sebesar US$3,79 miliar atau sekitar Rp59,6 triliun. Penurunan nilai impor terjadi lantaran adanya perubahan harga gandum di pasar global.
"Kalau sudah 50% [persentase dalam konsumsi pangan nasional] amat sangat berisiko pada ketahanan pangan kita dan politik nasional. Karena bisa dibayangkan 50% pangan kita bergantung dari luar negeri. Kalau misalnya AS dan Australia sedang ada masalah dengan RI, dan langsung setop impor gimana?," tuturnya.
Di sisi lain, Andreas juga mengatakan mulai ada kecenderungan negara produsen mengurangi produksinya. Apabila pasokan gandum terhambat sementara konsumsi masyarakat Indonesia terhadap gandum meningkat maka berisko pada lonjakan harga gandum.
Perhitungan Andreas terkait dengan konsumsi pangan berbasis gandum beriringan dengan angka konsumsi mi instan Indonesia yang melonjak. Data World Instant Noodles Association (WINA) pada 2022 mencatat Indonesia berada di posisi kedua sebagai negara dengan konsumsi mi instan terbanyak di dunia.
Konsumsi mi instan di Indonesia pada 2022 mencapai 14,26 juta porsi meningkat dari konsumsi 2021 sebanyak 13,27 juta porsi. Adapun negara pertama dengan konsumsi mi instan terbanyak yakni China dengan angka konsumsi mencapai 45,07 juta porsi pada 2022.
Senada dengan laporan WINA tersebut, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga menyebut adanya penurunan pasar minyak goreng domestik pada 2023 sekitar 8% lantaran adanya fenomena transisi konsumsi ke makanan tanpa minyak goreng.
"Pasar sudah mulai pindah ke instant food atau roti-rotian. Tidak lagi menggebu ke gorang-gorengan," tutur Sahat.
Adapun Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey juga mengakui adanya penurunan penjualan minyak goreng premium di ritel modern di bawah 10% pada 2023. Roy menyebut, selain adanya pergeseran konsumsi ke MinyaKita yang lebih murah, konsumen menengah atas juga telah beralih ke makanan yang tidak melalui proses goreng-menggoreng.