Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Eduardo Edwin Ramda

Analis Kebijakan di Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah

Eduardo Edwin Ramda adalah alumni Fakultas Ekonomo Universitas dan Bisnis Udaya (Unud) Denpasar yang saat ini menjadi Analis Kebijakan di Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Skeptisisme Agenda Ekonomi Hijau Indonesia

Perubahan iklim menjadi isu sensitif di penghujung era pemerintahan Jokowi. Estafet kepemimpinan akan berlanjut pada pemenang Pilpres 2024.
Ilustrasi kredit hijau atau green financing. Dok Freepik
Ilustrasi kredit hijau atau green financing. Dok Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Tantangan perubahan iklim menjadi isu sensitif dan kita tengah berada di penghujung era pemerintahan Jokowi. Estafet kepemimpinan akan berlanjut pada mereka yang memenangkan pemilihan presiden (pilpres) 2024.

Perang komitmen ihwal ekonomi hijau mulai berkecamuk pascadeklarasi dan penetapan kandidat. Maka dari itu, penting bagi kita untuk menelanjangi gagasan dan komitmen para kandidat dalam memanifestasikan konsep ekonomi hijau jika terpilih nanti.

Southeast Asia’s Green Economy 2023 Report menujukkan bahwa realisasi investasi hijau di kawasan Asia Tenggara pada 2022 hanya mencapai US$5,2 miliar, turun 7% dari 2021 (US$5,6 miliar) dan 2020 (US$6,6 miliar).

Indonesia sebagai negara middle income tentu saja membutuhkan dukungan investor. Pelbagai upaya mulai dari festival hingga investment forum digaungkan untuk akselerasi komitmen. Langkah konkret di level pusat dan daerah berpotensi surut dalam gulungan ombak gemerlap pesta demokrasi. Sebab, 2024 menjadi momen pergantian pucuk kepemimpinan dan keberlanjutan implementasi komitmen dipertaruhkan.

Pasangan Prabowo-Gibran dalam deklarasinya memamerkan ekonomi hijau sebagai bagian dari bocoran program mereka. Dalam dokumen visi-misi, komitmen ekonomi hijau menjadi bagian dari Astacita. Ada 15 sub poin sebagai rincian atas visi ini, namun terdapat beberapa poin yang tidak realistis dan cenderung menjadi gula-gula politik.

Misalnya poin terkait isu pertambangan, bagaimana mungkin usaha ekstraktif dapat dijalankan secara berkelanjutan? Banyak lahan bekas tambang yang kini tidak produktif karena secara teknis sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi.

Pada saat yang bersamaan, muncul komitmen nomor 65 terkait pengembangan sumber energi hijau alternatif.Pada tataran praksis, bagaimana mungkin kandidat ini akan mengurangi ketergantungan atas energi fosil (poin 44) seperti batu bara tatkala gerbong pendukungnya memiliki keterkaitan dengan bisnis ini.

Demikian pula halnya dengan gagasan mendorong pengembangan biodiesel dari sawit, bagaimana hal ini akan berjalan ditengah aturan moratorium pembukaan lahan sawit yang hingga hari ini tak kunjung dicabut?

Akankah pasangan ini mencabut moratorium untuk mendukung pengembangan biodiesel? Jika demikian, potensi Indonesia dikucilkan global semakin besar sebab bertentangan dengan UU Anti Deforestasi Uni Eropa.

Beranjak pada pasangan Ganjar-Mahfud, publik nampak skeptis tatkala kandidat ini bicara ihwal keberlanjutan. Sebab, Ganjar terjebak dalam pusaran isu Wadas yang hingga kini tak tuntas penyelesaiannya.

Ekonomi Hijau menjadi satu dari 8 jalan yang ditawarkan pasangan ini menuju Indonesia Unggul. Tidak ada satupun terobosan krusial yang ditawarkan pasangan ini, sebab poin penjelas yang ada bersifat repetitif atas narasi ideal yang selama ini berkembang.

Rencana ekonomi sirkular patut dipertanyakan, sebab selama ini negara belum memiliki gambaran yang tuntas untuk mendaratkan konsep ini. Pemprov Jawa Tengah baru berkomitmen menerapkan konsep pada 2023, sehingga boleh dikatakan Ganjar belum berpengalaman dalam mengorkestrasikan agenda ini.

Narasi daya saing Ganjar-Mahfud pun tampaknya tidak realistis dan berpotensi menjadi gagasan hampa. Sebab, 11 kali pasangan menyebutkan diksi ini dalam dokumen visi-misi, namun tidak ada tawaran jalan kerja yang jelas. Statement Indonesia yang tidak sekadar berdaya saing tampak klise, sebab hari ini bangsa kita pun belum berdaya saing unggul.

Terakhir, pasangan Anies-Cak Imin memiliki derivasi konsep ekonomi hijau yang relatif konkret. Mereka menawarkan indeks ekonomi hijau sebagai alat ukur evaluatif, kemudian komitmen kemudahan berusaha terkait investasi hijau, hingga konsep perdagangan karbon yang inklusif dengan kriteria yang jelas.

Entah bagaimana proses perumusan visi-misi yang mereka lakukan, namun poin yang ditawarkan tampak menjanjikan bagi pegiat usaha, khususnya mereka yang bergerak pada industri hijau. Hal yang perlu dipastikan Anies ke depannya adalah bagaimana dia mengimplementasikannya?

Masih segar dalam ingatan publik bahwa program bernarasi brilian seperti Oke Oce hingga Rumah DP Nol Persen gagal total dan tidak inklusif bagi kaum marjinal. Pada sisi lain, pasangan ini turut didukung oleh sejumlah pengusaha yang berkecimpung dalam bisnis ekstraktif yang tidak berkelanjutan.

Butuh kekuatan teknokrasi dan dukungan politik yang besar untuk mewujudkan misi pasangan ini. Sebab, ada kepentingan oligarki yang berseberangan dan tidak sejalan dengan konsep ekonomi hijau. Tentu saja kelompok tersebut tidak akan tinggal diam dengan gagasan ini.

Awas FOMO

Tampak jelas tawaran para kandidat berada pada grade kualitas yang berbeda. Timbul kekhawatiran bahwa proses penyusunan visi-misi terkait ekonomi hijau tampak FOMO demi simpati pegiat lingkungan.

Jika isu ekonomi hijau dijadikan gula-gula politik, maka ini adalah bentuk pelecehan atas upaya penyelamatan ibu bumi. Paus Fransiskus dalam Laudato Si telah memperingatkan bahwa biaya kerusakan yang disebabkan oleh kelalaian egois jauh lebih tinggi daripada keuntungan ekonomis yang dapat diperoleh.

Tidak ada salahnya untuk membongkar kembali komitmen yang terlanjur meluas. Kegagalan logika dalam konstruksi komitmen akan berdampak pada implementasi ekonomi hijau lima tahun mendatang. Atas nama kepercayaan global terhadap iklim investasi, perlu ada penguatan komitmen secara konkret dengan logika pikir yang konstruktif.

Jika narasi yang digagas masih bernuansa “cara lama”, maka trust dunia akan jalan di tempat. Artinya visi Indonesia Maju 2045 berpotensi mundur ditengah gempuran tuntutan aktualisasi ekonomi hijau dalam percaturan ekonomi global.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper