Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonomi sedang Tidak Baik-Baik Saja, Jangan Lengah di Tengah Riuh Pilpres 2024

Di tengah riuh menjelang pilpres 2024, kondisi ekonomi global saat ini sangat menantang dan perlu diwaspadai dampaknya ke ekonomi dalam negeri.
Annisa Sulistyo Rini,Maria Elena
Rabu, 25 Oktober 2023 | 12:00
Mata uang rupiah dan dolar Amerika Serikat di salah satu money changer, Jakarta, Sabtu (30/7/2022). Bisnis/Himawan L Nugraha
Mata uang rupiah dan dolar Amerika Serikat di salah satu money changer, Jakarta, Sabtu (30/7/2022). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Kondisi ekonomi global saat ini masih menimbulkan kekhawatiran, terutama negara berkembang, termasuk Indonesia menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2024.

Sebagaimana diketahui, saat ini situasi politik di Indonesia sedang bersiap untuk menyambut pilpres pada Februari 2024. Terdapat 3 pasangan capres dan cawapres yang siap bertarung pada pilpres tahun depan.

Ketiga pasangan tersebut yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan yang terakhir diumumkan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka.

Namun, di tengah riuh menjelang pilpres tahun depan, kondisi ekonomi global saat ini sangat menantang dan perlu diwaspadai dampaknya ke ekonomi dalam negeri.

Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan ekonomi dunia saat ini memang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.

Dalam 1 bulan terakhir, tingkat imbal hasil atau yield dari US Treasury meningkat sangat tajam, situasi yang sangat berbeda dengan fenomena kenaikan yield bonds akibat kekhawatiran tingginya laju inflasi.

Dengan kondisi yield US Treasury yang meningkat, dia menilai The Fed harus menaikkan suku bunga acuan. Akibatnya, arus modal ke negara berkembang mengalami tekanan, sehingga mempengaruhi nilai tukar mata uang, termasuk di Indonesia.

“Nah, sekarang kalau saya lihat kecenderungan yang terjadi di AS, maka dugaan saya bahwa interest rate-nya masih akan naik. Jadi, tingkat bunga masih akan naik dan kita akan berhadapan dengan exchange rate yang melemah,” katanya di Jakarta, Selasa (24/10/2023).

Sebagai informasi, pada perdagangan Selasa (24/10/2023), rupiah ditutup menguat ke level Rp15.849 per dolar AS atau naik 0,53% dari posisi sebelumnya.

Meski demikian, di tengah penguatan nilai mata uang rupiah, indeks dolar AS terpantau masih perkasa pada posisi 105,59 atau menguat 0,06%.

Chatib menilai tingkat depresiasi rupiah saat ini masih sangat kecil, sekitar 2% atau jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lainnya, seperti Malaysia dan Jepang.

“Situasi kita tidak seburuk yang terjadi di 2013. Saya tidak terlalu khawatir sebetulnya, karena rupiah dibanding currency lain, depresiasinya sebetulnya relatif kecil,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Firman Mochtar menyampaikan bahwa terdapat sejumlah risiko global semakin meningkat dan perlu dicermati ke depan.

Pertama, perekonomian global diperkirakan melambat yang diikuti dengan divergensi yang melebar. Ekonomi Amerika Serikat (AS) yang sebelumnya diperkirakan melambat, dalam perkembangannya justru cukup kuat yang didorong oleh permintaan domestik.

Di sisi lain, ekonomi China yang sebelumnya diharapkan membaik, dalam perkembangannya saat ini mengalami perlambatan.

Kedua, eskalasi geopolitik yang meningkat, terakhir Israel dan Hamas, telah mendongkrak harga energi dan pangan, sehingga memicu inflasi global tetap tinggi.

Ketiga, stance kebijakan moneter the Fed yang diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga ke depan, dan akan tetap tinggi hingga semester pertama 2024.

Keempat, situasi defisit fiskal AS yang membengkak membutuhkan bond yang lebih banyak sehingga meningkatkan tingkat imbal hasil US Treasury. Kondisi ini akan menyebabkan interest rate differential yang melebar.

Kelima, Firman mengatakan bahwa berbagai faktor tersebut pada gilirannya memicu risk appetite dari investor yang mengalihkan dananya, semakin meningkatkan eskalasinya, bukan hanya ke safe haven asset, tetapi juga memicu fenomena cash is the king.

“Gambaran ini mengakibatkan kurs dolar AS menguat secara global. Jadi pelemahan yang terjadi bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh negara, sebagian besar negara emerging markets kursnya mengalami depresiasi yang cukup besar,” katanya.

Dia menambahkan, BI berupaya melakukan langkah-langkah preemptive agar volatilitas di dalam negeri jangan sampai terus berlanjut, termasuk menjaga yield differential yang melebar.

“Ini yang ingin kita mitigasi sehingga bisa mendorong dan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi, 2023 [diperkirakan tumbuh] sekitar 5% dan 2024 kita harapkan tetap solid didukung konsumsi domestik,” jelas Firman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper