Bisnis.com, JAKARTA - Pemilu 14 Februari 2024 boleh saja dinilai masih lama. Akan tetapi, sejak dini logistik berupa ketersediaan pangan, terutama beras, harus dipastikan aman. Mengapa? Ini terkait posisi strategis beras sebagai pangan seluruh warga dengan tingkat partisipasi sempurna: 100%. Nilai strategis ini tak tergantikan.
Dalam struktur pengeluaran rumah tangga, terutama warga miskin, beras mendominasi: rerata 24% dari total pengeluaran. Ketika harga beras naik lantaran pemerintah salah kelola, bisa berbuntut panjang.
Ketika harga beras naik bakal terjadi perebutan di pasar, panic buying bisa tidak terhindarkan. Hanya warga berkantong tebal yang bisa memborong beras. Tidak terbayang bagaimana kondisi sosial-politik apabila itu terjadi. Mengapa ketersediaan beras perlu dipastikan? Merujuk teori pasokan dan permintaan pangan Indonesia yang dikembangkan Noer Soetrisno (Memahami Siklus Perekonomian Indonesia, UB Surakarta Press, 2015), pasokan komoditas pertanian mengikuti kalender matahari (masehi) yang dipengaruhi angin muson, sehingga ada musim tanam dan musim panen tiap komoditas.
Di sisi lain, permintaan pangan dipengaruhi oleh kalender bulan, dalam hal ini berdasarkan kalender Jawa hijriah yang didekritkan Sultan Agung pada 1625 M atau 1 Muharam 1035 H. Merujuk pengalaman selama ini, permintaan pangan signifikan terjadi pada bulan-bulan ‘pesta’: Ruwah (Sya’ban), Puasa (Ramadan), Lebaran (Syawal) yang siklusnya berbeda dengan bulan panen. Karena kalender Jawa hijriah bergeser 10/11 hari setiap tahun, apabila pada bulan pesta berbarengan dengan musim paceklik, maka harga komoditas pangan yang bersangkutan bisa menjadi masalah yang amat serius.
Sya’ban, Ramadan, dan Syawal bakal jatuh pada Februari, Maret, dan April 2024. Mulai Oktober 2023, kita memasuki musim paceklik padi, yang kalau kondisi normal bakal berlangsung hingga Januari 2024. Karena tahun ini terjadi El Nino, musim hujan bakal mundur, yang membuat awal tanam juga mundur. Jika hujan mundur sebulan atau 2 bulan, musim tanam juga mundur sebulan atau dua bulan. Artinya, masa panen juga mundur sebulan atau dua bulan yang berarti masa paceklik lebih panjang. Ini krusial.
Ada sejumlah tantangan memastikan ketersediaan beras menjelang Pemilu 2024. Pertama, stok beras nasional kian menipis. Indikator terlihat dari ‘meroketnya’ harga beras sejak Juli dan kian menanjak pada Agustus 2023. Harga beras melandai sejak ada bantuan sosial beras 10 kg per bulan untuk 21,35 juta keluarga, yang disalurkan pada Maret-Juni 2023. Inflasi beras yang sempat melandai pun kembali meroket di Agustus 2023. Stok yang menipis tergambar dari volume beras yang disalurkan untuk stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) yang rerata 18.000-an per bulan pada April—Juni naik jadi rerata 59.000-an per bulan pada Juli—Agustus 2023. Harga masih potensial naik.
Baca Juga
Kedua, jumlah cadangan beras pemerintah (CBP) masih ‘rawan’. Stok beras di Bulog saat ini 1,6 juta ton. Jumlah ini bisa cukup, bisa juga tidak. Mengharapkan ada penambahan CBP dari pengadaan dalam negeri peluangnya kecil. Saat ini harga gabah sudah di atas harga pembelian pemerintah (HPP) dan beras medium di atas harga eceran tertinggi (HET). Sulit buat Bulog mendapatkan gabah/beras. Sementara Bulog mesti menyalurkan bansos beras 3 bulan seperti Maret—Mei lalu: September—November 2023. Tiga bulan itu butuh 640-an ribu ton. Jika volume SPHP sampai akhir tahun 150.000—200.000 ton, stok akhir tahun 2023 kemungkinan tinggal 750.000—800.000 ton. Jumlah ini ‘rawan’.
Jumlah ini cukup jika Bulog di awal tahun 2024 tak diminta menyalurkan bansos beras lagi. Jika ini pilihan pemerintah, harga beras mungkin akan tetap tinggi, bahkan naik. Sebagai gantinya, SPHP mungkin volumenya akan membesar. Jika ini yang terjadi, stok CBP akan terkuras dan makin mengecil. Stok CBP yang kecil bisa dimaknai pemegang stok, terutama swasta, pemerintah tidak punya jumlah beras memadai untuk intervensi pasar. Sentimen pasar bisa membuat harga melonjak. Ini mesti diwaspadai.
Ketiga, indikasi terjadi El Nino makin nyata. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memperkirakan, produksi beras turun 1,2 juta ton jika skala El Nino kuat. Ada juga yang memperkirakan produksi beras akan turun 5% atau setara 1,5 juta ton. Untuk mengantisipasi itu, Kementerian Pertanian telah menyiapkan penanaman baru di 500.000 hektare di 6 provinsi. Saat ini penanaman baru di 60.000 hektare. Jika langkah ini mulus, hasilnya baru diketahui pada November—Desember 2023. Artinya masih serba tak pasti.
Pengalaman di masa lalu menunjukkan, menjelang dan atau saat pemilu, perhatian pemerintah dan juga masyarakat terhadap peningkatan produksi beras kurang ‘greget’. Ini bisa membuat produksi beras turun. Jika itu yang terjadi, apa mitigasi dan antisipasi yang disiapkan? Sementara semua tahu, tidak ada cara “sim salabim” dalam produksi pertanian, termasuk padi. Kemarau basah 3 tahun berturut-turut, 2020—2022, tak diikuti kenaikan produksi signifikan. Ini menandai belum ada terobosan baru untuk menggenjot produksi secara spektakuler. Perlu langkah tak biasa dan tak populer, termasuk eksekusi sisa kuota impor 0,4 juta ton beras, agar ketersediaan beras tidak menjadi ‘bencana’.