Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) optimistis investasi dan konsumsi masih akan tumbuh hingga akhir tahun, meskipun kemungkinan konsumsi akan cenderung melandai karena penyesuaian pasar pascaperiode inflasi tinggi.
Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani menilai fenomena itu cukup wajar terjadi ketika pasar mengalami perlambatan pertumbuhan daya beli dan pertumbuhan volume konsumsi karena pasar atau masyarakat menyesuaikan volume konsumsi pascaperiode inflasi tinggi.
“Seberapa lama sluggishness pertumbuhan konsumsi ini akan terjadi kita belum tahu karena tergantung pada banyak parameter seperti pertumbuhan pekerja di sektor formal, pertumbuhan investasi, pertumbuhan kinerja ekspor, dan lain-lain. Kalau job recovery di sektor formal terjadi secara cepat, kami rasa di Q4 kita sudah bisa melihat pertumbuhan konsumsi yang lebih signifikan,” ujar Shinta kepada Bisnis, Kamis (20/7/2023).
Dia mengatakan, target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen pun masih sangat rasional, khususnya bila tidak ada ‘kejutan-kejutan’ yang berpotensi menekan stabilitas makro ekonomi nasional, baik di dalam maupun di luar negeri.
“Kami khususnya berharap agar tidak ada manuver politik yang sifatnya kontraproduktif terhadap pertumbuhan seperti kebijakan-kebijakan populis yang muncul tiba-tiba menjelang pemilu nanti karena dapat berakibat sangat fatal terhadap pertumbuhan,” tutur Shinta.
Terkait dampak penurunan ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi tahun ini, dia mengatakan, proyeksi ekonomi global yang diharapkan berangsur-berangsur membaik hingga akhir tahun dan proyeksi pertumbuhan perdagangan global yang baru direvisi membaik beberapa bulan lalu, seharusnya bisa menciptakan pertumbuhan ekspor yang terus positif hingga akhir tahun.
Baca Juga
“Hanya saja kinerja ekspor hingga akhir tahun akan sangat tergantung pada bagaimana pemerintah bisa memacu produktivitas ekspor [dalam arti peningkatan volume ekspor] di dalam negeri,” ujar Shinta.
Menurutnya, dalam 6 bulan terakhir, kinerja ekspor Indonesia kurang maksimal karena terkendala penciptaan produktivitas usaha di dalam negeri, seperti periode libur yang terlalu panjang atau diperpanjang secara tiba-tiba, kesulitan untuk melakukan impor bahan baku/penolong, hingga keputusan untuk menciptakan larangan terbatas ekspor atas bahan mentah tertentu yang tidak disertai dengan strategi subtitusi ekspornya.
“Ini saya rasa harus menjadi perhatian pemerintah dalam waktu dekat. Bila hanya mengandalkan kondisi status quo atau business as usual, kami khawatir kinerja ekspor akan menurun meskipun outlook perdagangan global membaik,” tuturnya.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik, ekspor Indonesia pada Juni 2023 mencapai US$20,61 miliar atau turun sebesar 5,08 persen dibanding Mei 2023 (month-on-month/mom) dan turun 21,18 persen dari Juni 2022 (year-on-year/yoy). Ekspor migas dan nonmigas juga mengalami penurunan dengan masing-masing sebesar 3,64 persen mom dan 5,17 persen mom.
Pelemahan kinerja ekspor terjadi pada seluruh sektor pada Juni 2023. Sektor pertambangan menjadi sektor yang mengalami penurunan terdalam sebesar 15,30 persen mom, disusul sektor pertanian sebesar 7,89 persen mom, dan sektor industri pengolahan 2,24 persen mom.
Penurunan ekspor disebabkan turunnya harga beberapa komoditas unggulan Indonesia di pasar global, di antaranya batu bara (turun 6,78 persen), CPO (turun 3,90 persen), karet (turun 1,52 persen), aluminium (turun 1,58 persen), dan nikel (turun 1,19 persen).
Selain itu, Shinta mengungkapkan, pihaknya tidak melihat ada potensi besar terhadap terjadinya kontraksi di sektor apapun di Indonesia dalam waktu dekat maupun dalam struktur ekonomi nasional.
“Kalau kita bicara tentang kontributor pertumbuhan PDB, sektor pendorong pertumbuhannya akan tetap sama, manufaktur, perdagangan, pertambangan, pertanian, transportasi, dan sektor jasa lainnya,” jelas Shinta.
Sebelumnya, beberapa lembaga internasional merevisi prospek inflasi Indonesia pada tahun ini. ADB dalam outlook ekonomi yang dirilis Juli 2023 merevisi proyeksi inflasi Indonesia 2023 dari 4,1 persen menjadi 3,8 persen. Demikian pula AMRO yang memangkas outlook inflasi nasional dari 4,6 persen menjadi 3,9 persen. Proyeksi terbaru itu mendekati outlook inflasi yang diterbitkan pemerintah, yakni sebesar 3,3 persen--3,7 persen pada tahun ini.
Akan tetapi, dipangkasnya prospek inflasi itu didasarkan pada indikator pelemahan daya beli masyarakat. Menurut lembaga tersebut, inflasi yang rendah lebih disebabkan oleh terbatasnya permintaan masyarakat. Dengan kata lain, aktivitas konsumsi masih cukup melandai, yang kemudian menimbulkan risiko yang cukup besar yakni terbatasnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.