Bisnis.com, JAKARTA - Dua atau tiga dekade yang lalu mungkin akan sangat terbatas untuk menemukan produk-produk berlabel halal yang beredar di pasar. Demikian halnya restoran maupun tempat makanan yang telah tersertifikasi halal.
Tak jarang harus menanyakan terlebih dahulu kepada pelayan atau petugas restorannya untuk memastikan tidak mengandung babi, dan alkohol.
Terkadang konsumen merasa minder untuk menanyakan hal tersebut karena tak sedikit yang merasa terintimidasi akan jawaban yang kurang mengenakkan dari pelayan maupun petugas restorannya.
Seiring berjalannya waktu, produk-produk berlabel halal telah sedemikian masif beredar di pasaran, baik produk konsumsi maupun barang gunaan.
Restoran dan kafe juga dengan bangganya memasang label halal di pintu masuk maupun etalasenya sehingga konsumen tidak perlu mencari-cari informasi lagi. Bahkan, terasa janggal bila restoran dan kafe tersebut belum terlihat label halalnya.
Bila diperhatikan, perjalanan kebijakan halal di Indonesia ini malah diawali dari labelisasi produk non-halal, sebagaimana Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 280/Men.Kes/Per/XI/76 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang Mengandung Bahan Berasal dari Babi. Hal ini dengan pertimbangan masih terbatasnya produk yang mengandung babi maupun turunannya pada saat itu, sehingga lebih efisien bila pemberian label pada produk non-halal.
Baca Juga
Labelisasi halal baru dimulai seiring terbitnya Surat Keputusan Bersama Menteri kesehatan dan Menteri Agama No. 42/Men.Kes/SKB/VIII/1985 dan No. 68/1985 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan.
Pelaku usaha dapat membubuhkan label halal setelah melaporkan komposisi bahan dan cara pengolahan produk kepada Departemen Kesehatan. Sementara pengawasannya dilakukan bersama oleh Departemen Kesehatan dan Departemen Agama melalui Tim Penilaian Pendaftaran Makanan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan.
Pada 1988, sebuah publikasi hasil penelitian terhadap produk-produk di pasaran yang mengindikasikan adanya kandungan bahan dari babi seperti shortening (margarin putih/lemak padat plastis yang berasal dari lemak babi), lard (lemak/minyak babi), dan gelatin (protein hewani hasil ekstraksi dari bagian tubuh babi).
Hasil penelitian ini menyebar luas dan sempat membuat kepanikan serta kekhawatiran di tengah masyarakat, sehingga masyarakat sangat selektif dalam memilih produk yang akan dikonsumsi.
Guna meredam kekhawatiran masyarakat tersebut, maka dibentuklah Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) untuk mengadakan pemeriksaan terhadap produk yang beredar dan melakukan sertifikasi halal.
LPPOM MUI menyiapkan sarana dan prasarana serta infrastruktur lainnya guna menjalankan tugas tersebut dan mulai menerbitkan sertifikat halal pada 1994. Sejak saat itu LPPOM MUI sebagai lembaga sertifikasi halal yang melakukan pemeriksaan, pemrosesan, dan penetapan sertifikasi halal.
Terbitnya Undang-Undang No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal menunjukkan negara hadir untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha dalam memproduksi dan menjual produk halal.
Melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) penyelenggaraan jaminan produk halal dilaksanakan, bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Undang-Undang ini juga telah mengamanatkan secara mandatory (wajib) bersertifikat halal terhadap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia.
Dengan pertimbangan kesiapan, urgensi, dan kedaruratan (terutama produk obat, produk biologi, dan alat kesehatan yang bahan bakunya belum bersumber dari bahan halal dan/atau cara pembuatannya belum halal), melalui Peraturan Pemerintah No. 39/2021 dan Peraturan Presiden No. 6/2023 telah ditetapkan pemberlakuan secara bertahap dalam pemenuhan sertifikat halal, mulai produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan yang wajib telah bersertifikat halal hingga 17 Oktober 2024. Sementara itu, produk-produk lainnya mulai 17 Oktober 2026 hingga 17 Oktober 2039, sesuai dengan kriteria dan jenis produknya.
Penyiapan instrumen-instrumen dalam mewujudkan pelaksanaan sertifikasi halal telah dilakukan BPJPH bersama kementerian/lembaga terkait, mulai norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) sertifikasi halal.
Penambahan auditor halal yang telah mencapai 450 orang dan LPH sebanyak 55 dengan berbagai jenis layanan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia (BPJPH, Mei 2023). Beberapa akselerasi dan fasilitasi sertifikasi halal juga telah diberikan kepada para pelaku usaha dalam memenuhi target sertifikasi halal tersebut.
Tak dimungkiri bila dengan jumlah LPH dan auditor halal saat ini, masih sangat jauh dari jumlah ideal untuk pemenuhan sertifikasi halal seluruh produk, mengingat permintaan para pelaku usaha juga tinggi untuk segera memenuhi sertifikasi halal tersebut.
Kondisi yang tidak balance ini sangat berpotensi menimbulkan tindakan penyimpangan dalam pelaksanaan sertifikasi halal, ketidaksesuaian sarana prasarana dan kualitas LPH, pemenuhan kapasitas dan kompetensi auditor halal lebih pada administratif audit bukan pada esensi dan substansi halal, tindakan suap agar lolos hasil uji kandungan non-halal atau proses sertifikasi dapat lebih cepat, dan sejenisnya.
Tentunya kondisi-kondisi tersebut tidak diharapkan terjadi. Semangat mewujudkan jaminan produk halal untuk kemaslahatan umat menjadi tercemari oleh tindakan-tindakan yang tidak baik dan benar.
Peran BPJPH dalam pengawasan dan pembinaan harus diperkuat untuk meminimalisir hal-hal tersebut. Partisipasi kementerian/lembaga, MUI, masyarakat, dan pihak-pihak terkait perlu ditingkatkan guna kesinambungan implementasi jaminan produk halal.