Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Fikri C. Permana & Khairunnisa Nadhifah S

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Angsa Putih atau Angsa Hitam di Investasi

Terminologi angsa putih (white swan) dan angsa hitam (black swan) telah dianggap sebagai pengibaratan dampak negatif bagi portofolio investasi.
Gedung Federal Reserve Marriner S. Eccles di Washington, D.C., AS, Selasa, (23/8/2022). Bloomberg/Graeme Sloan
Gedung Federal Reserve Marriner S. Eccles di Washington, D.C., AS, Selasa, (23/8/2022). Bloomberg/Graeme Sloan

Bisnis.com, JAKARTA - Terminologi angsa putih (white swan) dan angsa hitam (black swan) telah dikenal lama dalam dunia keuangan dan dianggap sebagai pengibaratan dampak negatif suatu peristiwa bagi asset class atau portofolio investasi. Istilah ini dipopulerkan oleh Nassim Nicholas Taleb, seorang profesor keuangan, penulis, dan mantan trader Wall Street.

Secara sederhana, black swan diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar dugaan yang menimbulkan kegemparan buruk di pasar finansial, white swan diartikan sebagai kegemparan terprediksi, sementara grey swan adalah campuran antara black dan white-swan. Saat ini, terminologi itu kian meningkat setelah ekspektasi terminal Fed Rate menjadi lebih tinggi 75 bps dibanding perkiraan awal tahun, yakni di ekspektasikan akan berada di angka 5,75 persen yang mungkin akan terjadi pada Juni mendatang serta bertahan hingga akhir 2023.

Namun, mengingat kenaikan Fed Rate yang agresif yakni 425 bps selama 2022, inflasi terbukti masih sulit dijinakkan di AS. Bahkan merujuk pada inflasi bulan Januari 2023 yang tercatat sebesar 6,4% year-on-year (YoY)—lebih tinggi dibanding perkiraan ekonom yang hanya sebesar 6,2% (YoY) dan hanya sedikit lebih rendah dibanding inflasi Desember 2022 yang mencapai 6,5% (YoY).

Dampak sementara dapat kita lihat dari kenaikan cost of fund global. Misalnya saja yield US Treasury tenor 10 Tahun pun terkerek naik sekitar 50 bps, bahkan tenor 2 tahun meningkat lebih tajam atau 75 bps hanya selama Februari lalu. Sehingga inverted yield curve yang telah terjadi sejak 31 Maret 2022 kian membesar dan mendekati 100 bps di 7 Maret 2023, tertinggi sejak 2007, sesaat setelah testimoni Powell di hari yang sama.

Hal ini juga berpengaruh terhadap collapse-nya Silicon Valley Bank yang bermula dengan kebijakan suku bunga 0% pada 2020 yang membuat aktivitas belanja masyarakat meningkat yang menguntungkan para perusahaan, termasuk perusahaan teknologi. Nilai deposito SVB meningkat dan SVB melakukan investasi besar-besaran dalam obligasi jangka panjang.

Bagi Indonesia, mungkin inverted yield curve tidak terjadi, tapi yield spread antartenor di SUN makin mengecil. Kondisi tersebut turut berdampak pada yield SUN di semua tenor yang juga meningkat selama Februari—Maret lalu, bahkan diikuti dengan terjadinya net ouflow Asing pada 6—9 Maret sebesar Rp2,67 triliun pada bulan yang sama, padahal pada Januari terjadi net inflow Rp46,81 triliun. Artinya, aliran dana di pasar keuangan Indonesia masih akan bergerak dinamis seiring perubahan yang menimbulkan dampak dari perilaku perubahan angsa-angsa tersebut.


Berdasarkan data transaksi 6—9 Maret 2023, netflow asing keluar bersih tersebut berasal dari jual neto di pasar SUN senilai Rp3,03 triliun. Investor asing cenderung mengkalibrasi ulang ekspektasi atas berapa lama inflasi akan berada dalam level yang tetap tinggi, serta seberapa tinggi tingkat suku bunga ke depan. Maka dari itu instrumen investasi beresiko cenderung dikurangi. Hal ini tergambar dari credit default swaps (CDS) Indonesia 5 tahun yang masih berada di sekitar angka 100.

Karenanya, ekspektasi pembalikan modal kembali masuk ke AS, terutama ke aset safe haven dolar AS yang kembali menguat belakangan ini. Untuk ke depannya, aliran dana asing ke pasar SBN Indonesia akan tergantung dengan arah inflasi dan kebijakan suku bunga acuan.

Jika dovish, maka akan menjadi katalis positif untuk pasar obligasi Indonesia. Apalagi, dilihat dari segi real yield, obligasi Indonesia masih memberikan yield yang atraktif dibandingkan negara regional lainnya.

Namun, perlu diingat, bank sentral negara-negara maju kemungkinan akan kembali menaikkan suku bunga acuannya demi menekan inflasi di masing-masing negara/kawasan. Akan tetapi RDGBI 15—16 Maret lalu menyiratkan kenaikan BI7DRRR sudah cukup guna mengantisipasi inflasi di dalam negeri. Karenanya, kekhawatiran ketidakpastian dan dorongan capital outflow dana asing di pasar keuangan Indonesia masih menjadi perhatian ke depan.

Untungnya, BI juga menyiratkan twist operation melalui penjualan SBN di pasar sekunder untuk tenor pendek guna meningkatkan daya tarik imbal hasil SBN khususnya bagi masuknya investor portofolio asing dalam rangka memperkuat stabilisasi nilai tukar Rupiah masih akan dilakukan. Di samping aksi triple intervention dan pemberlakukan kewajiban DHE di 1 Maret lalu.

Untuk itu, kami melihat koordinasi kebijakan otoritas keuangan dalam negeri harus terus diperkuat guna menjaga stabilitas rupiah, tingkat yield obligasi Indonesia dan IHSG tetap kompetitif.

Walaupun begitu, ke depan menarik untuk melihat bagaimana transmisi kebijakan antarpasar global-domestik, dampaknya bagi pasar keuangan domestik dan aliran dana para investor. Dan semoga perilaku angsa masih ramah terhadap pasar keuangan dalam negeri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper