Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mencatat Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) secara keseluruhan pada 2022 kembali membukukan surplus US$4 miliar, setelah pada 2021 membukukan surplus sebesar US$13,5 miliar.
Lebih lanjut, surplus transaksi berjalan sepanjang tahun 2022 mencapai US$13,2 miliar atau 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Capaian itu naik drastis dibandingkan dengan 2021 (year-on-year/yoy) sebesar US$3,5 miliar atau hanya 0,3 persen dari PDB.
Secara angka, kondisi tersebut terlihat sebagai sebuah hal yang positif seiring kenaikan NPI dan surplus transaksi berjalan yang signifikan.
Namun, Direktur Eksekutif Centre of Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengingatkan bahwa surplus Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) di luar kenormalan.
Menurutnya, kebanyakan surplus berasal dari perdagangan barang yang disebabkan windfall profit dari kenaikan harga komoditas primer akibat perang Rusia vs Ukraina yang menciptakan hambatan supply chain pada tingkatan global.
“Kenaikan harga tidak akan bertahan lama. Ini bukan seperti windfall profit atau commodity boom pada tahun 2000-an awal hingga 2012, di mana terjadi lonjakan permintaan yang besar sekali akibat dari perekonomian China yang tumbuh secara cepat,” kata dia dalam CSIS Media Briefing seperti dikutip dari Antara, Selasa (21/2/2023).
Dia melanjutnya windfall profit disebabkan disrupsi yang terjadi karena kondisi Perang Rusia vs Ukraina.
Jika semakin lama pengaruh disrupsi kian kecil dan sudah ditemukan alternatif untuk melancarkan perdagangan barang, ungkap Yose, maka harga-harga takkan tinggi lagi yang membuat Indonesia tak bisa menikmati berbagai surplus akibat disrupsi.
Dia juga menerangkan dua bagian besar dalam neraca pembayaran, yakni neraca berjalan dan neraca finansial. Seandainya neraca berjalan negatif, diusahakan neraca finansial positif, begitu pun sebaliknya.
“Sekarang ini, permasalahannya neraca finansial kita tidak positif, masih negatif. Jadi kalau neraca berjalannya sudah mulai turun positifnya, surplusnya turun, yang di bawah [neraca finansial] masih negatif juga. Nah, itu tentunya tekanan terhadap perekonomian akan menjadi sangat besar,” ungkap Yose.
Dia mengungkapkan kondisi ekonomi eksternal Indonesia dalam hal neraca berjalan selalu negatif, tetapi ditutup oleh neraca finansial yang positif. Saat ini, lanjutnya, neraca berjalan positif lebih disebabkan adanya windfall profit.
Artinya, jika nanti kondisi kembali lagi ke kondisi yang lama di mana neraca berjalan akan negatif, situasi bisa memburuk karena neraca finansial yang negatif.
Menurutnya, peran Bank Indonesia sangat diperlukan guna mengatasi persoalan tersebut dan untuk menghindari capital outflow.
"Meningkatkan investasi langsung juga menjadi kunci,” ucapnya.
Dia memaparkan investasi langsung yang masuk Indonesia disebut hanya sebesar 25 persen dan pergi ke industri logam dasar. Dalam artian, investasi langsung terlalu terkonsentrasi di satu industri.
Jika hal tersebut hilang atau investasinya tak lagi masuk Indonesia, maka kondisinya akan jauh lebih berbahaya. Pasalnya, sektor-sektor padat karya tak dapatkan investasi yang cukup besar.
"Reform-nya mungkin ke arah sana, bagaimana mendiversifikasi investasi yang ada dengan tentunya memperbaiki iklim investasi yang ada,” ujarnya.