Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menginginkan nilai tambah lebih besar dengan rencana moratorium ekspor emas yang direncanakan pada tahun ini.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menerangkan pemerintah ingin nilai tambah yang lebih tinggi dihasilkan dari rencana moratorium ekspor emas tahun ini.
Arifin mengatakan pemerintah tengah mempelajari sejumlah skenario untuk menghasilkan nilai tambah lebih tinggi dari industrialisasi emas di dalam negeri mendatang. Menurut Arifin, rencana industrialisasi emas itu bakal dilakukan bertahap.
“Maksudnya proses hilirisasi harus berjalan, sampai di mana kita bisa menghasilkan produk akhir yang punya nilai tambah tinggi,” kata Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (10/2/2023).
Komitmen hilirisasi emas itu, kata dia, diharapkan ikut membawa dampak berlipat untuk perekonomian nasional di masa datang. Hanya saja, dia belum dapat menerangkan lebih rinci ihwal produk akhir yang diharapkan pemerintah untuk hilirisasi emas tersebut.
“Hilirisasi itu kan bisa menciptakan banyak tenaga kerja,” tuturnya.
Baca Juga
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menegaskan komoditas emas ikut menjadi mineral logam prioritas selanjutnya yang akan didorong untuk dilakukan hilirisasi.
Pemerintah belakangan gencar mendorong kebijakan larangan ekspor mineral mentah, seperti nikel hingga bauksit, untuk mengembangkan hilirisasi di dalam negeri. Menurut Jokowi, hilirisasi menjadi kunci bagi Indonesia untuk menjadi negara maju.
“Kemudian nanti dari bauksit, timah, lari ke tembaga, lari ke emas, lari ke gas alam dan minyak. Kalau ini betul-betul secara konsisten kita kerjakan, jadilah kita negara maju,” kata Jokowi saat membuka Pertemuan Industri Jasa Keuangan di Jakarta, dikutip Selasa (7/2/2023).
Sementara itu, sebagian besar pelaku industri emas menyebutkan hal ini perlu dilakukan dengan beberapa pertimbangan matang.
Direktur Investor Relation Hartadinata Abadi (HRTA) Thendra Crisnanda mengatakan saat ini pelaku pasar masih akan mencermati dan menunggu detail dari kebijakan dan implementasi pelarangan ekspor emas tersebut.
“Jadi pelaku pasar masih menunggu, apa saja yang tidak boleh diekspor, apakah bijih emasnya atau apa? Itu yang kami tunggu. Karena ada implikasi negatif yang harus menjadi pertimbangan dari sisi pemerintah,” ungkapnya kepada Bisnis, Rabu (8/2/2023).
Dari data World Gold Council menyebutkan tingkat produksi tambang emas di Indonesia pada 2021 mencapai 117,5 ton, dengan tingkat permintaan pada 2022 mencapai 49 ton.
“Asumsikan pada 2023 produksi stagnan setara dengan 2021 yakni 117 ton, dan permintaan meningkat moderat hanya naik 5 persen menjadi 52 ton, maka akan ada 60 ton lebih excess supply yang belum tentu langsung bisa terserap, yang negatifnya terhadap industri akan dirasakan terutama pada pemain untuk yang ada di upstream terutama penambang emas,” jelas Thendra.
Larangan ekspor ini, imbuhnya, berisiko di mana penambang emas harus menurunkan tingkat produksi, dan melihat harga harus turun agar pasokannya bisa terserap di domestik.
Di sisi lain, untuk emiten emas yang bergerak di midstream dan downstream justru akan mendapatkan keuntungan karena tidak harus menjual emas yang belum diolah sama sekali.
“Misalnya HRTA bergerak di bagian midstream dan downstream, kami mencetak emas dan produksi emas batangan dan mendistribusikan emas ini yang berarti kami menjadi sumber permintaan emas domestik. Keuntungannya, dari sisi pricing akan lebih murah karena pasokan di dalam negerinya sendiri berlebih,” kata Thendra.
Selain itu, ada faktor kepastian ketersediaan bahan baku, karena selama ini HRTA masih mengimpor bahan baku sehingga perlu waktu. Dengan adanya larangan ekspor, emiten seperti HRTA akan menyerap pasokan dalam negeri dan mendapat keuntungan dari penurunan harga sehingga ada penurunan juga pada biaya materialnya.