Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bos PLN Blak-blakan Ungkap Penyebab Kondisi Listrik RI Berlebih

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo membeberkan bahwa perhitungan pertumbuhan permintaan listrik meleset dalam 5 tahun terakhir.
Warga melakukan pengisian listrik prabayar di Rumah Susun Benhil, Jakarta, Senin (14/2/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Warga melakukan pengisian listrik prabayar di Rumah Susun Benhil, Jakarta, Senin (14/2/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN membeberkan bahwa melesetnya perhitungan asumsi konsumsi listrik hingga pandemi Covid-19 menjadi penyebab kondisi ketersediaan listrik di Tanah Air berlebih atau oversupply.

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, pada 2015 lalu, pertumbuhan konsumsi listrik diproyeksikan dapat mencapai 7-8 persen. Perhitungan ini didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi saat itu yang mencapai sekitar 6,1 persen. Berbekal asumsi ini, PLN kemudian merancang penambahan atau ekspansi pembangkit listrik. 

Dengan asumsi tersebut, konsumsi listrik pun sempat dipatok optimistis di angka 380 terawatt hour (TWh) pada tahun ini. Namun, hingga akhir 2022, penjualan listrik PLN baru mencapai 270,82 TWh. 

“Jadi ada 100 TWh di bawah dari yang direncanakan, itu lah bahwa pada waktu itu apakah asumsinya itu sudah sesuai dengan harapan ternyata bergeser,” kata Darmawan saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Jakarta, Rabu (8/2/2023). 

Perhitungan yang meleset itu, kata Darmawan, membuat posisi kelebihan pasokan listrik atau oversupply makin lebar hingga awal tahun ini. 

Dia menambahkan, asumsi pertumbuhan ekonomi nasional yang diikuti dengan potensi peningkatan konsumsi listrik juga belakangan tidak sesuai dengan proyeksi yang ditetapkan pemerintah sejak 2015 lalu. Ditambah dengan pandemi Covid-19 yang juga turut menurunkan konsumsi listrik PLN. 

Saat itu, pemerintah bersama PLN menetapkan setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen bakal diikuti dengan pertumbuhan permintaan listrik hingga 1,3 persen. Hanya saja, hitung-hitungan itu belakangan justru lebih rendah untuk permintaan listrik setiap persennya. 

“Selama 5 tahun kemarin di Jawa korelasinya turun dari 1,3 persen menjadi 0,87 persen, jadi kalau 1 persen pertumbuhan ekonomi pertumbuhan permintaan hanya 0,86 persen, kemudian pertumbuhan ekonomi terkoreksi dari 6,1 persen rata-rata menjadi 5,1 persen,” tuturnya.

Pergeseran kolerasi antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan permintaan listrik itu karena pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak dipacu oleh pertumbuhan e-commerce dan pariwisata. Inilah yang membuat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dibarengi dengan pertumbuhan permintaan listrik yang tinggi.

"Kalau misalnya pertumbuhan ekonominya berbasis pada industrialisasi maka korelasinya kemudian naik lagi," jelas Darmawan. 

Kondisi itu, dia menggarisbawahi, membuat pasokan listrik dari pembangkit terkontrak tidak terserap optimal selama 5 tahun terakhir. 

“Semua sudah tender proyeknya, sebagian bisa kita batalkan, kita kurangi, kemudian kita undur kontraknya kita kurangi, kami berhasil mengurangi beban take or pay Rp40 triliun sekian,” tuturnya.

Sebelumnya, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti kenaikkan beban pembelian listrik PLN dari pembangkit swasta yang meningkat drastis selama 1 tahun terakhir. 

Kenaikan beban itu terbilang eksesif yang ikut mengoreksi arus kas perusahaan setrum pelat merah itu dalam jangka panjang. 

“Itu indikasi bahwa pembelian tenaga listrik terlalu eksesif, melampaui kecepatan penjualan listrik yang relatif sudah bagus 8,6 persen, di atas pertumbuhan ekonomi,” kata Kepala Pusat Pangan, Energi dan Pembangunan Berkelanjutan Indef Abra Talattov saat dihubungi, Minggu (15/1/2023). 

Apalagi, Abra menambahkan, lembaganya memproyeksikan beban oversupply listrik perusahaan setrum pelat merah itu menyentuh di angka Rp21 triliun sepanjang 2022. 

Beban oversupply itu mengambil porsi 51 persen dari dana kompensasi yang disalurkan pemerintah untuk perusahaan setrum pelat merah itu sebesar Rp41 triliun sepanjang tahun lalu. 

Hitung-hitungan itu berasal dari catatan kelebihan daya pasok listrik pada 2022 yang berada di kisaran 6 gigawatt (GW) hingga 7 GW. Asumsinya, setiap 1 GW memerlukan biaya produksi Rp3 triliun. 

“Pemborosan yang timbul akibat oversupply 7 GW itu kurang lebih Rp21 triliun per tahun,” kata dia. 

Mengutip laporan keuangan triwulan III/2022 milik perseroan, sampai dengan 30 Juni 2022 PLN telah menandatangani 37 kontrak engineering, procurement, construction (EPC) meliputi 10 pembangkit dengan kapasitas 7.490 MW di Jawa-Bali dan 27 pembangkit dengan kapasitas 2.489 MW di luar Jawa-Bali. 

Adapun, PLN telah membayar uang muka sebesar US$876.217.780 dan Rp4.790.016 untuk 35 kontrak EPC yang dicatat sebagai aset dalam pembangunan. Uang muka itu didanai dari hasil penerbitan obligasi terjamin dan penarikan fasilitas kredit program percepatan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper