Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Referensi CPO Turun 4,48 Persen, Ini Faktor Pemicunya

Penurunan harga referensi CPO mendekati ambang batas senilai US$680/metrik ton.
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor. Harga referensi produk minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) untuk penetapan bea keluar (BK) periode 1—15 Februari 2023 turun 4,48 persen. Bisnis/Arief Hermawan P
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor. Harga referensi produk minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) untuk penetapan bea keluar (BK) periode 1—15 Februari 2023 turun 4,48 persen. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Harga referensi produk minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) untuk penetapan bea keluar (BK) periode 1—15 Februari 2023 turun 4,48 persen dari periode 16—31 Februari 2023 menjadi US$879,31/metrik ton.

Pada periode sebelumnya, harga referensi CPO yang juga berbarengan dengan tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (tarif BLU BPD-PKS) atau pungutan ekspor (PE) senilai US$920,57/metrik ton.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Budi Santoso mengatakan penurunan harga referensi CPO tersebut mendekati ambang batas senilai US$680/metrik ton.

“Untuk itu, merujuk kepada PMK yang berlaku saat ini, pemerintah mengenakan BK CPO senilai US$52/MT dan pungutan ekspor CPO senilai US$90/metrik ton untuk periode 1—15 Februari 2023,” kata Budi via siaran pers seperti dikutip Bisnis, Kamis (2/2/2023). 

Perlu diketahui, Bea keluar CPO periode 1—15 Februari 2023 merujuk kepada PMK No. 12/2022 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar dengan nilai US$52/metrik ton.

Sementara itu, pungutan ekspor CPO periode 1—15 Februari 2023 merujuk kepada PMK No. 154/2022 Tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Pada Kementerian Keuangan senilai US$90/metrik ton.

Penurunan harga referensi CPO dipengaruhi beberapa faktor. Beberapa diantaranya penurunan permintaan dari India dan China, penguatan kurs ringgit terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dan peningkatan harga minyak nabati lainnya karena penurunan produksi di AS. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper