Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyatakan terdapat anomali berpikir antara negara maju dan berkembang terkait dengan aliran investasi hijau.
Dia menuturkan bahwa di berbagai belahan dunia saat ini tengah mendorong agar semua negara menggunakan energi baru terbarukan. Akan tetapi, dia menyatakan hanya satu per lima investasi energi hijau yang mengalir ke negara berkembang.
“Hanya satu per lima investasi energi hijau yang masuk ke negara berkembang. Oleh karena itu, perlu persamaan berpikir bahwa semua negara setara, seharusnya tidak ada diskriminasi antarnegara berkembang dan negara maju,” ujarnya, Kamis (2/2/2023).
Dia juga menyampaikan salah satu fokus pemerintah saat ini adalah membangun ekonomi hijau, baik melalui energi maupun investasi yang berkelanjutan. Langkah ini guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, sekaligus gerakan untuk mencapai target nol emisi 2045.
Dalam kesempatan yang sama, Bahlil juga menegaskan di depan para investor dalam dan luar negeri untuk tidak mengajari Indonesia bagaimana mengatur lingkungan.
“Negara-negara yang hutannya habis jangan mengajari kami mengatur lingkungan di Indonesia. Kami lebih tahu itu,” pungkasnya.
Menurutnya, hal ini karena terdapat kejanggalan soal perbedaan harga karbon di negara maju dan negara berkembang dengan dasar ada atau atau tidaknya ketersediaan hutan di negara tersebut.
Pada saat World Economic Forum (WEF) 2023 di Davos, Swiss, Bahlil juga menuturkan mengapa ada perbedaan, padahal regulasi yang berlaku sama. Contohnya, harga karbon di Eropa dapat mencapai US$100 per ton, sementara di Indonesia hanya US$20 per ton.
“Kalau seperti itu, hutan kami, kami gundulkan dulu seperti kalian, baru apple to apple? Ini tidak rasional, ini bentuk diskriminasi,” kata Bahlil.
Dalam kesempatan itu, dia juga menekankan bahwa hilirisasi menjadi satu komitmen Indonesia dalam menjaga lingkungan. Tidak hanya persoalan nilai tambah, tetapi bagaimana menjaga lingkungan agar tidak terjadi penambangan yang masif.