Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Khudori

Khudori Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan

Khudori dikenal sebagai pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Saat ini dia menjadi anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Sektor Pertanian Pascapandemi

Calam sejarah krisis, sektor pertanian sekali lagi terbukti menjadi bantalan (cushion) ekonomi, bahkan jadi alternatif sumber mata pencaharian masyarakat.
Petani memanen padi menggunakan mesin pemanen padi (combine harvester) di Jembrana, Bali, Rabu (27/7/2022). ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/wsj.
Petani memanen padi menggunakan mesin pemanen padi (combine harvester) di Jembrana, Bali, Rabu (27/7/2022). ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/wsj.

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia bersiap menuju endemi. Ini berarti semua lapisan masyarakat harus siap hidup bersama virus Sars-Cov-2, penyebab Covid-19. Pengakhiran pandemi di pengujung tahun 2022 diisyaratkan Presiden Jokowi saat di acara ‘Outlook Perekonomian Indonesia Tahun 2023’ di Jakarta, 21 Desember 2022. Hampir 3 tahun pandemi, ada segepok pelajaran penting. Salah satu yang patut dicatat adalah ketangguhan sektor pertanian. Sektor berbasis lahan dan alam itu kembali menunjukkan keperkasaannya. Kala sektor lain lunglai dan tersungkur, sektor pertanian tampil perkasa dan menjadi penyelamat.

Saat ekonomi terkontraksi -2,07% pada 2020, pertanian tumbuh positif 1,75%, bahkan pada kuartal IV/2020 tumbuh 2,59%. Sepanjang 2020 pertanian tumbuh positif bersama enam ektor lain: jasa kesehatan dan kegiatan sosial (11,60%), informasi dan komunikasi (10,58%), pengadaan air (4,94%), jasa keuangan dan asuransi (3,25%), jasa pendidikan (2,63%), dan realestat (2,32%). Pada 2021, pertanian tumbuh 1,88% ketika perekonomian nasional tumbuh 3,69%. Ini menandai pulihnya ekonomi dari terpaan pandemi. Ini juga menandai “siklus normal”: kala ekonomi pulih, pertanian akan berubah jadi penyokong.

Seperti tercatat dalam sejarah krisis, sektor pertanian sekali lagi terbukti menjadi bantalan (cushion) ekonomi, bahkan jadi alternatif sumber mata pencaharian masyarakat, tatkala terjadi resesi atau ketika sumber-sumber pendapatan lunglai. Ini tak lepas dari resiliensi pertanian yang lebih mudah beradaptasi kala pandemi Covid. Salah duanya, krisis atau tidak, orang tetap perlu makan. Saat situasi normal, mengikuti piramida Maslow, manusia mengejar puncak: aktualisasi diri dan esteem. Kala pandemi, manusia menggeser kebutuhan ke dasar piramida: makan, kesehatan, dan keamanan jiwa-raga.

Saat krisis 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 13,68%, jumlah warga miskin melonjak jadi 49,50 juta orang atau meningkat 15,49 juta jika dibandingkan 1996. Resesi 1997-1998 dipicu oleh krisis perbankan. Sektor pertanian, juga UMKM, relatif tak terdampak. Bahkan, dengan rupiah yang melemah, pertanian menikmati durian runtuh berupa harga pangan yang tinggi di pasar dunia. UMKM jadi bantalan mereka yang terpental dari sektor keuangan. Pertanian dan UMKM jadi penyelamat perekonomian.

Pandemi Covid-19 situasinya berbeda. Krisis akibat Covid-19 membuat interaksi manusia dihentikan, setidaknya berlangsung minimal. Sementara, gerak UMKM dan juga pertanian berjalan karena interaksi manusia. UMKM, pertanian, dan hampir semua sektor ekonomi terpukul tatkala perkantoran, pabrik, industri, resto, warung, dan aneka aktivitas lainnya berhenti (dihentikan). Pengalihan aktivitas fisik ke dalam jaringan (online) tidak banyak menolong. Karena pada saat yang sama, sebagian besar warga, terutama pekerja sektor informal, bahkan formal, daya belinya terpukul karena pendapatannya merosot.

Tatkala pandemi, bagi banyak orang, sektor pertanian adalah penolong akhir buat bertahan hidup. Ini menimpa pelancong dari desa yang hidupnya di kota kian memburuk, bahkan tak lagi menjanjikan hidup. Apakah karena jadi korban PHK di sektor formal atau usaha informal yang ditekuni dengan ketrampilan ala kadarnya gulung tikar. Sepanjang 2020, pertanian mendapatkan limpahan tenaga kerja baru 3,33 juta orang. Ini indikasi terjadi migrasi orang-orang kota kembali ke desa saat pandemi. Peningkatan ini jadi beban berat bagi sektor pertanian karena produktivitas tenaga kerjanya cukup rendah. Kue yang kecil akan makin kecil karena harus dibagi (lagi) dengan lebih banyak orang.

Sebenarnya, resiliensi pertanian tatkala krisis, resesi atau pandemi sudah teruji dalam sejarah panjang negeri ini. Mulai krisis 1997-1998, 2008, 2011, dan 2020. Di luar itu, peran penting pertanian dalam perekonomian juga sudah banyak dicatat dalam riset. Riset terbaru LPEM Universitas Indonesia (2021) menunjukkan, setiap 1% pertumbuhan sektor pertanian secara tidak langsung berdampak pada pertumbuhan 1,36% industri. Ini karena sektor pertanian menjadi pemasok penting bahan baku bagi sektor industri.

Masalahnya, setelah situasi ‘normal’ dan pandemi berlalu, ketangguhan sektor pertanian segera dilupakan. Yang terjadi kemudian adalah sindrom “cinta lama bersemi kembali”. Mereka yang mencari selamat di pertanian saat pandemi kembali ke sektor yang ditekuni kala normal. Ini tampak dari menurunnya jumlah tenaga kerja pertanian 1,65 juta pada Agustus 2021. Fenomena ruralisasi dan sindrom “cinta lama bersemi kembali” akan permanen jika masalah struktural yang membeli pertanian tak diurai.

Pertama, produktivitas yang rendah. Produktivitas pertanian memang tumbuh 2,5 kali dari 1990 (Ikhsan, 2022), tapi pertumbuhannya itu tertinggal jauh dari sektor lain. Akibatnya, pertanian identik dengan “rumah warga miskin”. Per Maret 2022, warga miskin di perdesaan mencapai 54,81%, sedangkan di perkotaan 45,18%. Kedua, dominasi petani gurem, yang mencapai 58% (BPS, 2018). Penguasaan lahan sempit, jauh dari skala ekonomi. Ketiga, pendidikan rendah (66,4% tak sekolah/tak lulus SD dan lulusan SD) dan tua (33,28% petani berusia lebih 55 tahun). Jalinan ketiga faktor itu membuat inovasi dan adopsi teknologi rendah. Ini faktor keempat. Contohnya, sampai sekarang 30% petani masih menanam varietas padi Ciherang, hasil rakitan tahun 2000 (Suryana, 2022).

Agar sindrom “cinta lama bersemi kembali” tak berulang, sektor pertanian harus ditransformasikan menjadi sektor produktif. Pertama, konsolidasi pengelolaan lahan. Lahan-lahan petani yang sempit harus dikonsolidasikan untuk memenuhi skala ekonomi. Pemenuhan skala ekonomi memungkinkan lahan dikelola oleh manajer profesional. Kedua, adopsi inovasi dan teknologi. Dengan skala ekonomi memadai, pengelolaan bisa dilakukan cara mekanisasi, adopsi smart farming, dan teknologi digital. Selain solusi atas kelangkaan tenaga kerja, langkah ini diharapkan akan menarik pekerja muda-terdidik.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Khudori
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper