Bisnis.com, BADUNG – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menilai daya beli masyarakat akan terdorong apabila upah minimum naik 10 persen di 2023.
Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, menyampaikan besaran UMP yang bergantung pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi akan mengalami kenaikan seiring dengan semakin membaiknya ekonomi Indonesia.
“Sebenarnya kenaikan upah dengan sendirinya akan mendorong daya beli. Dengan mendorong daya beli maka akan mendorong agregat permintaan. Kalau ada permintaan harapannya produksinya naik, kalau produksi naik maka kenaikan upah tadi menjadi salah satu siklus tadi,” kata Suharso kepada awak media di Bali, Senin (21/11/2022).
Harapannya dengan semakin naik permintaan akan terus menggerakkan industri salah satunya manufaktur yang menjadi kunci keluarnya Indonesia dari negara middle income trap menjadi high income atau negara maju.
Namun, dia menyatakan tidak dapat juga besaran UMP setiap tahunnya naik dengan besaran yang sama karena kembali lagi, bergantung pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Suharso pun berharap dengan upah yang lebih besar dapat membuat masyarakat bukan hanya menghabiskan untuk kebutuhan sehari-hari, tapi juga dapat menyisihkan uangnya dalam tabungan.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah, telah menerbitkan Permenaker No. 18/2022 sebagai pengganti dari PP No. 36/2021 tentang pengupahan yang dinilai belum mengakomodasi dampak dari kenaikan inflasi.
Dalam beleid terbaru itu, Ida Fauziyah menetapkan UMP 2023 naik tak lebih dari 10 persen. Formula yang lama, dalam PP No. 36/2021 dikhawatirkan akan mengakibatkan semakin menurunnya daya beli pekerja pada 2023. Padahal, struktur ekonomi nasional mayoritas disumbang oleh konsumsi masyarakat. Karena itu, faktor daya beli dan fluktuasi harga penting untuk dijaga.
"Penetapan atas penyesuaian nilai Upah Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat [1] melebihi 10 persen, Gubernur menetapkan Upah Minimum dengan penyesuaian paling tinggi 10 persen [sepuluh persen]," demikian bunyi aturan tersebut dikutip, Senin (21/11/2022).
Sementara itu, kabar tersebut justru membuat pengusaha melihat pemerintah selaku regulator tidak memiliki konsistensi terhadap aturan. Kondisi itu juga akan membuat para investor yang telah melirik Indonesia dengan segala kemudahan investasi akan mengurungkan niatnya karena adanya ketidakkonsistenan ini.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Rizal Tanzil Rakhman, menyampaikan dari sisi pengusaha tidak ingin ada perubahan dari PP No.36/2021 menjadi Permenaker No.18/2022.
“Kami di sisi pengusaha jelas tidak ingin ada perubahan, itu yang jadi catatan karena di industri itu yang paling penting konsistensi, termasuk konsistensi regulasi. Indonesia baru saja dapat tempat yang cukup bagus di G20 dan B20, dunia melihat kami punya prospek yang sangat bagus sebagai industri,” ujarnya ketika dijumpai di Badung, Bali, Senin (21/11/2022).
Rizal menyayangkan, ketika pemerintah saat ini mencoba merubah aturan regulasi yang ada, justru menjadi kekhawatiran sendiri bagi dunia bahwa Indonesia tidak konsisten terhadap regulasi yang ada.
Terlebih, industri tekstil dan garmen yang saat ini juga dilanda penurunan permintaan ekspor sehingga terpaksa melakukan efisiensi.