Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menilai skema pembiayaan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara lewat energy transition mechanism (ETM) belum mampu menarik pendanaan dari perbankan atau pemberi pinjaman komersial.
Peneliti IEEFA Elrika Hamdi mengatakan pemberi pinjaman komersial atau privat masih ragu untuk berinvestasi pada program pensiun dini PLTU tersebut. Alasannya, program itu relatif berisiko pada portofolio investasi mereka lantaran sentimen negatif batu bara.
“Yang menjadi tantangan itu untuk mengajak pembiayaan komersial untuk ikut pada skema ETM ini,” kata Elrika saat dihubungi, Senin (14/11/2022).
Sejauh ini, kata Elrika, pendanaan skema ETM itu masih bertumpu pada lembaga keuangan non komersial, donor negara, hibah dan filantropi.
“Masalah green taxonomies ini dialami perbankan lokal dan internasional, karena sekarang bank-bank ini banyak disorot dan di-track portofolio kotornya oleh civil society,” tuturnya.
Wakil Menteri BUMN I Pahala N. Mansury membeberkan perbankan serta pemberi pinjaman komersial masih ragu-ragu untuk mendanai program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara lantaran menghindari portofolio fosil dalam kegiatan lending mereka.
Baca Juga
Hal itu diungkapkan Pahala selepas penandatanganan nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) antara Asian Development Bank (ADB) bersama dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Indonesian Investment Authority (INA) dan Cirebon Electric Power (CEP) untuk pemadaman lebih awal PLTU Cirebon-1 yang berlokasi di Jawa Barat lewat skema blended financing dari skema energy transition mechanism (ETM).
“Country platform sudah resmi diumumkan hari ini, pada akhirnya siapa yang akan menanggung biayanya apa nanti yang memastikan pembiayaan ini,” kata Pahala saat diskusi Roundtable : Transactions Leading the Shift From Coal to Clean Energy di Nusa Dua, Bali, Senin (14/11/2022).
Pahala mengatakan dirinya belum mengetahui lebih lanjut apakah pendanaan lewat ETM itu sudah memasukkan taksonomi pembiayaan hijau atau green financing taxonomy untuk memastikan portofolio investasi dari perbankan atau pemberi pinjaman tidak terpengaruh negatif oleh sentimen fosil.
“Ketika kami bicara dengan teman-teman di perbankan mereka sangat bergairah tentang ini, tapi mereka bertanya apakah pembiayaan transaksi itu sudah masuk pada bagian pembiayaan hijau,” kata dia.
Sepert diberitakan sebelumnya, Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) menandatangani nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) untuk memulai pembahasan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Cirebon-1 dengan kapasitas daya 660 megawatt (MW) yang berlokasi di Jawa Barat.
Nota kesepahaman itu turut ditandatangani oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, Indonesian Investment Authority (INA) dan pemilik PLTU Cirebon-1, Cirebon Electric Power (CEP) saat Grand Launching Indonesia Energy Transition Mechanism Country Platform di Nusa Dua, Bali, Senin (14/11/2022).
President ADB Masatsugu Asakawa mengatakan program pensiun dini PLTU Cirebon-1 itu nantinya bakal menggunakan struktur pendanaan gabungan atau blended finance dari skema energy transition mechanism (ETM). Berdasarkan hitung-hitungan ADB, pendanaan pensiun dini PLTU Cirebon-1 berkisar di angka US$250 juta hingga US$300 juta (Rp3,87 triliun hingga Rp4,65 triliun, kurs Rp15.514).
“Krisis iklim saat ini tidak dapat diatasi tanpa skema ini, terutama di kawasan kita di mana banyak PLTU masih begitu muda,” kata Asakawa di Nusa Dua, Bali, Senin (14/11/2022).
Adapun tenggat waktu ihwal eksekusi pensiun dini PLTU Cirebon-1 masih dalam pembahasan seiring dengan negosiasi yang belum selesai terkait dengan besaran pendanaan yang dibutuhkan. Seperti diketahui, PLTU itu telah memiliki kontrak operasi hingga 2042 mendatang untuk memasok listrik ke PLN.
Ihwal pendanaan gabungan itu akan terdiri dari concessional capital dan modal dari ADB. Pendanaan concessional itu melingkupi bantuan dari kemitraan di ETM Partnership Trust Fund dan sebagian alokasi investasi dari pemerintah Indonesia. Kendati demikian, struktur pembiayaan pensiun dini itu belum juga rampung lantaran sejumlah lembaga keuangan dan filantropi belakangan menunjukkan ketertarikan mereka untuk ikut bergabung.