Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku industri kehutanan Indonesia berharap para anggota lembaga pengembang sertifikasi pengelolaan hutan lestari Forest Stewardship Council (FSC) dapat menyetujui mosi 37/2021 dalam gelaran General Assembly FSC yang akan digelar di Bali, 9-14 Oktober mendatang.
Penyetujuan mosi tersebut dinilai dapat memberi kesetaraan dan keadilan kepada seluruh pelaku usaha kehutanan di dunia pada semua skala usaha dalam pengembangan hutan lestari.
“Kami berharap mosi 37/2021 bisa disetujui oleh member FSC sehingga ada kesetaraan bagi semua pelaku usaha di Indonesia dan seluruh dunia dalam pengembagan hutan lestari,” kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Silverius Oscar Unggul, dalam Focus Group Discussion, Selasa lalu.
Pada penyelenggaraan GA, anggota FSC akan memutuskan sejumlah mosi yang akan menjadi dasar hukum pelaksanaan sertifikasi pengelolaan lestari untuk tahun mendatang. Salah satunya, mosi 37 yang mengusulkan perubahan cut off date yakni batas diperbolehkannya konversi hutan alam dalam pembangunan hutan tanaman dari November 1994 menjadi 31 Desember 2020. Perubahan ini diikuti dengan kewajiban untuk melakukan perbaikan secara lingkungan dan sosial terhadap keterlanjuran konversi hutan alam yang diatur dalam Remedy Framework (RF).
Penyetujuan mosi dapat memperluas penerapan sertifikasi FSC untuk hutan tanaman di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Di saat yang sama, adanya Remedy Framework juga bisa mendukung ambisi FSC dalam mendorong perluasan kegiatan rehabilitasi dan restorasi hutan.
“Jika mosi 37 disetujui, sektor kehutanan akan menjadi salah satu andalan Indonesia dengan semakin terbukanya peluang pasar dan mendorong lebih massif lagi hilirisasi yang menjadi prioritas dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini,” ujar Silverius.
Lebih lanjut, Silverius menjelaskan, dengan memperoleh sertifikat FSC maka ada peluang bagi produk-produk kehutanan Indonesia memasuki pasar-pasar tertentu yang memang mempersyaratkan sertifikat FSC.
Sekretaris Jenderal APHI, Purwadi Soeprihanto mengatakan FSC General Assembly (GA) menjadi momentum penting untuk memastikan kesetaraan yang adil bagi stakeholder di seluruh dunia, utamanya untuk mendukung perbaikan tata kelola hutan, perluasan rehabilitasi dan restorasi di seluruh dunia.
“Mosi 37 yang diusulkan dapat berdampak positif untuk agenda global yang bermanfaat bagi perubahan iklim, sosial, dan ekonomi masyarakat. Bagi Indonesia, ini akan mendukung semangat kelestarian dan kesetaraan yang adil,”ujar Purwadi.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saat ini terdapat 568 unit manajemen Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang mengelola areal hutan produksi dengan total luas mencapai 30 juta hektare. Dari jumlah tersebut, hanya ada 4 unit PBPH hutan tanaman yang memiliki sertifikat FSC dengan luas 358.761 hektare saja, atau sekitar 3,2% dari total luas PBPH hutan tanaman di Indonesia.
Masih minimnya jumlah PBPH hutan tanaman yang memiliki sertifikat FSC tidak lepas dari ketentuan cut off date November 1994. Di sisi lain, komitmen terhadap kelestarian dan keberlanjutan pengelolaan hutan di Indonesia sesungguhnya sudah dibuktikan dengan adanya Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) yang diterapkan secara mandatory yang telah diakui sebagai satu-satunya skema sertifikasi yang disetarakan sebagai lisensi FLEGT oleh Uni Eropa.
Berbekal SVLK, ekspor produk kayu Indonesia mampu mencatatkan tren yang positif dengan melesat dari US$ 9,84 miliar pada tahun 2015 menjadi US$13,56 miliar pada tahun 2021 yang merupakan rekor tertinggi ekspor produk kayu Indonesia sepanjang sejarah.
“Jika PBPH bisa menggenapi sertifikat SVLK dengan sertifikat voluntary seperti FSC , rekognisi pasar terhadap produk kehutanan Indonesia bisa semakin luas,” ujar Purwadi.
Selain itu, jika PBPH hutan tanaman bisa memperoleh sertifikat FSC bisa menjadi insentif tercapainya komitmen-komitmen Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim. Indonesia seperti sudah dideklarasikan pemerintah memiliki agenda besar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri atau mencapai 41% dengan dukungan internasional sesuai dokumen updated National Determined Contribution (NDC) yang telah di-submit ke Sekretariat UNFCCC.
Perluasan sertifikasi juga akan mendorong tercapainya agenda prioritas pemerintah yakni FOLU Net Sink 2030, yang menargetkan tingkat penyerapan GRK sudah sama atau lebih banyak dibandingkan emisinya dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan di tahun 2030. Dalam FOLU Net Sink, tingkat emisi GRK dari sektor kehutanan ditargetkan sebesar minus 140 juta ton setara CO2 di tahun 2030.