Bisnis.com, JAKARTA - Pada pertengahan Agustus diberitakan investor besar ternama Lo Kheng Hong (LKH) telah mengakumulasi saham properti Intiland Development (DILD).
Padahal, kinerja indeks IDX Sector Properties & Real Estate (IDXPROPERT) ta hun berjalan per Juli 2022 negatif 10,8%, jauh tertinggal kinerja Indeks Harga Saham Ga bung-an (IHSG) yang naik 5,6%.
Pandemi yang berkepanjangan dan kemudian disertai akselerasi inflasi, kenaikan suku bunga, dan risiko resesi global terus menekan daya beli konsumen yang akan membeli rumah baru. Saat ini, harapan pemulih-an ekonomi pascapandemi juga dibayangi potensi krisis properti di China. Apakah saat ini tepat untuk membeli saham properti?Pertama-tama, LKH adalah value investor.
Analisa saham value investor fokus pada nilai intrinsik perusahaan dan prospeknya daripada berita makroekonomi yang cenderung mendominasi psikologis dan emosi investor awam. Value investor mempertimbangkan skenario terburuk potensi menurunnya kinerja fundamental perusahaan sebagai bagian dari ‘margin of safety’ valuasi perusahaan.
Di sisi lain, asesmen konservatif perbaikan fundamental per-usahaan dipakai sebagai ske-nario pemulihan harga saham ke depan.Kedua, value investor tidak percaya bahwa antisipasi dan prediksi indikator makroekonomi akan bermanfaat bagi keputusan investasi yang superior.
Bahkan, bila seorang ekonom bisa melakukan pre-https://www.bisnis.com/topic/371/propertidiksi dengan akurat, maka prediksi itu tidak berguna bila hanya sebuah konsensus pasar.Ketiga, siklus sektor properti sepertinya sudah berada di titik terendah dengan penu-runan kinerja properti terjadi selama 7–8 tahun terakhir.
Baca Juga
Indeks harga saham sektor properti (JAKPROP, indeks seri lama) tembus di atas 550 pada Mei 2013. Setiap korek-si, Indeks JAKPROP kembali pulih dan mencapai titik tertinggi 590 di Agustus 2016. Ini mengindikasikan optimisme investor akan investasi sektor properti pada periode 2012–2016.
Berbagai saham properti sendiri mulai mengalami ko rek si panjang sejak awal 2016, dan akhirnya mencapai titik terendah pada 2020 saat pandemi Covid-19 menyebar secara global.
Pada periode 2016–2020, Indeks JAKPROP me ngalami koreksi 51%. Meski sempat mengalami rallype mu lihan di paruh kedua 2020, sejak awal 2021 hingga Juli 2022 indeks sektor pro-per ti kembali terkoreksi 25%.
Sepanjang Januari 2016–Juli 2022, saham properti favorit, seperti Bumi Serpong Damai (BSDE), Ciputra Development (CTRA), Lippo Karawaci (LPKR), dan Summarecon Agung (SMRA) mengalami koreksi masing-masing 49%, 36%, 87%, dan 62%. Saham-saham properti berkapitalisasi kecil, seperti Agung Podomoro Land (APLN), Alam Sutera (ASRI), Bekasi Fajar (BEST), dan Jaya Real Property (JRPT) juga mengalami koreksi antara 35%–66%.Kinerja fundamental peru-sa haan properti tersebut memang menurun, namun penurunan harga-harga saham jauh lebih besar lagi.
Menariknya, koreksi harga-harga saham properti di periode 2021–Juli 2022 terjadi saat kinerja sektor properti mulai mengalami pemulihan. Misal, kinerja perusahaan properti, seperti ASRI, BSDE, CTRA, dan SMRA per akhir Desember 2021 menunjukkan pertumbuhan penda-patan dan laba double digit.
Dinamika kontras antara pemulihan kinerja keuangan dan koreksi harga saham itu menyebabkan valuasi saham-saham properti berada di titik yang sangat rendah dan murah. Indikator valuasi rasio Price to Book saham-saham properti turun menjadi satu kali buku atau lebih kecil. Rasio PBV saham properti kapitalisasi terbesar BSDE, CTRA, dan SMRA masing-masing 0,6X, 0,9X, dan 1,0X.
Sementara itu, rasio PBV saham-saham kapitalisasi kecil, seperti APLN, ASRI, BEST, DILD, dan Modernland (MDLN) berkisar 0,3X–0,4X.
Bandingkan dengan valu-asi saham-saham properti di era booming 2014–2015 yang berkisar 2,0–3,0X PBV. Bahkan saham perusahaan properti Sentul City (BKSL) yang saat itu sedang berha-dapan dengan kasus hukum suap alih fungsi lahan hutan di Kabupaten Bogor memiliki rasio PBV sekitar 1X.
Berdasarkan rasio PBV, sa-ham-saham properti saat ini mem beri sinyal seakan-akan ekonomi Indonesia dalam kon di si “krisis”. Dalam kondisi wajar, di mana ekonomi tumbuh, tidak mungkin harga saham perusahaan yang memiliki banyak aset tanah dan bangunan dijual di bawah nilai buku. Aset pro per ti tersebut mempunyai earning power dan recurring income.
Kenaikan harga-harga komoditas memang meningkat-kan inflasi yang mendorong kenaikan suku bunga, sehingga beban pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah meningkat. Tetapi, sebagai negara penghasil komoditas, Indonesia juga diuntungkan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat pemilik perusahaan dan pekerja di sektor komodi tas tersebut.
Kekhawatiran akan kenaikan inflasi juga tidak relevan untuk investasi properti atau saham. Properti sebagai aset riil adalah salah satu instrumen yang paling sesuai untuk hedging terhadap inflasi tinggi, sedangkan perusahaan-perusahaan yang unggul, mempunyai kemampuan untuk menaikkan harga-harga produknya ketika terjadi inflasi.
Karena itu investasi di saham perusahaan unggulan properti dalam jangka panjang memiliki imbal hasil yang lebih tinggi dari inflasi.
Jadi dari aspek fundamental perusahaan, valuasi, dan juga sentimen, saat ini saham-saham properti sangat menarik bagi investasi jangka panjang. Apalagi saham-saham tersebut adalah saham perusahaan properti unggulan, seperti ASRI, BSDE, CTRA, dan SMRA. Demikian juga saham properti lahan industri BEST dan DMAS, yang saat ini juga dibeli oleh perusaha-an digital, seperti data center dan pergudangan ecommerce.