Bisnis.com, JAKARTA- Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Kopti) DKI Jakarta mengungkapkan pengrajin terpaksa akan menaikkan harga tahu tempe seiring kenaikan harga kedelai yang saat ini tembus Rp13.000 per kilogram (kg). Kenaikan harga tahu tempe tersebut berkisar 20-30 persen.
Ketua Kopti DKI DKI Jakarta Sutaryo mengatakan alasan menaikkan harga tahu tempe tersebut lantaran harga kedelai yang terus berfluktuasi. Ia membeberkan, pada 2019 harga kedelai masih Rp7.000 per kg, kemudian pada 2020 naik jadi Rp10.000 per kg, 2021 jadi Rp11.000 per kg, dan saat ini sudah Rp13.000 per kg.
“Kita pengrajin sudah teriak-teriak kalau harga kedelai sampai di atas Rp10.000, maka kekuatan pasar lemah. Ini kok pemerintah diem-diem saja. Makanya, pemerintah harus mengekspose konsumen tahu tempe harus berani membeli tahu tempe itu,” ujar Sutaryo kepada Bisnis di Jakarta Barat, Senin (27/9/2022).
Dia menturkan reli kenaikan kedelai dipicu oleh ketiadaan stok nasional yang sebelumnya dipegang oleh Perum Bulog dan hampir 100 persen mengandalkan impor. “Mentan yang gembar gembor swasembada ekspor pun sejak 2020 hasilnya nol ditambah nol, tidak ada hasilnya,” tuturnya.
Penyebab lainnya kenaikan kedelai juga, kata Sutaryo, dipengaruhi pelemahan rupiah terhadap dolar. Setiap kenaikan US$100 kedelai naiknya Rp25. Maka, jika dolar naik US$400 kedelai naik Rp100. Selain juga, ujar dia, efek kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berdampak ada kenaikan ongkos angkut sebesar 10-20 persen.
“Itu hitungan rumusnya. Maka yang mempengaruhi kenaikan kedelai itu tadi, harga di Amerika, harga angkut Amerika ke Indonesia, rupiah terhadap dolar, kemudian yang terakhir adalah isu yang susah dipegang, misalnya barangnya ada tapi diisukan kurang. Nah itu berefek terhadap kenaikan kedelai,” jelas Sutaryo.
Baca Juga
Dia pun meminta agar pemerintah juga segera menyalurkan sisa anggaran selisih harga kedelai yang saat ini baru 10 persen dari Rp800 miliar. Anggaran tersebut tersendat sejak akhir Juli 2022, setelah sebelumnya disalurkan dari April, Mei, Juni dan Juli pertengahan.
“Pemerintah kan menganggarkan Rp800 miliar atau 800.000 ton kedelai untuk menutup Rp1.000 per kg, tapi saat ini berhenti begitu saja, padahal anggarannya sudah diketok dan kita bikin MoU segala di Kemendag,” ungkap Sutaryo.
Lebih lanjut, dia berharap agar petani saat ini sudah mau lagi untuk menanam kedelai. Sebab, harga komoditas kacang-kacangan semusim itu diperkirakan harganya tidak akan turun. Menurutnya, alasan produksi kedelai lokal turun drastis lantaran pada 2019 harga kedelai anjlok jadi Rp7.000-Rp7.500 per kg. sedangkan harga kedelai lokal Rp8.000 per kg karena ongkos produksinya Rp7.500 per kg.
“Makanya, petani kita tidak mau menanam kedelai. Mati surilah kita. Makanya harus dibangunkan petani-petani, karena harga kedelai tidak akan turun sekarang karena ada kestabilan harga baru,” tutur Sutaryo.
Dia menyampaikan bahwa kebutuhan kedelai dalam negeri sendiri sebesar 3 juta ton per tahun. “Nanti kedelai lokal karena bijinya kecil-kecil bisa untuk bahan tahu, sedangkan yang impor untuk tempe. Jadi, Kementan jangan gembar-gembor swasembada kedelai, minimal produksi saja 1 juta ton per tahun,” pungkas Sutaryo.