Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia Services Dialog (ISD) menilai penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) pada transaksi e-commerce dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi digital nasional.
Direktur Eksekutif Indonesia Services Dialog (ISD) Devi Ariyani mengatakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) berpotensi mendisrupsi potensi pertumbuhan ekonomi digital.
Hal tersebut terlihat pada Pasal 32A UU HPP yang menyatakan bahwa Menteri Keuangan menunjuk pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran dan/atau pelaporan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setidaknya ada tiga dampak yang akan timbul akibat aturan ini. Pertama platform atau pelaku usaha karena mereka harus siapkan sistem dan melaporkan pajak yang dipungut. Kedua kepada merchant yang ada di platform dan yang ketiga adalah pemerintah.
"UU HPP khususnya terkait pengenaan pajak bagi platform marketplace tidak dapat diaplikasikan secara terburu-buru. Sebab beleid ini dapat menimbulkan permasalahan dalam penerapannya," ujar Devi dalam keterangan resmi pada Sabtu (24/9/2022)
Dia juga menjelaskan aturan baru tersebut dapat mengubah tatanan saat ini mengingat tidak jelas merchant mana yang bisa diterapkan PPN. Mereka juga tidak tahu mana yang sudah PKP (Pengusaha Kena Pajak) dan belum. Belum jelas juga apa yang akan dilakukan pemerintah bila terjadi kelebihan pembayaran pajak. "Dampak seperti ini lah yang perlu diperhatikan," ujarnya.
Baca Juga
Selain itu, perlu juga diingat bahwa hubungan marketplace dan merchant adalah kemitraan, bukan hubungan kepegawaian yang memungkinkan marketplace memungut pajak dari mitra kerjanya.
"Yang kami khawatirkan, merchant-merchant ini kembali ke sektor informal atau keluar dari platform marketplace ketika aturan ini dijalankan. Akibatnya transaksi pun tidak tercatat. karena mereka kembali berjualan secara offline atau lewat jalur lain seperti sosmed," lanjut Devi.
Menanggapi hal tersebut, Asisten Deputi Ekonomi Digital Kemenko Perekonomian Rizal Edwin Manangsang mengatakan tren perkembangan sektor e-commerce harus didukung dengan penciptaan ekosistem ekonomi digital yang kondusif. Dalam hal ini termasuk regulasi dan kebijakan terkait perpajakan guna menciptakan prinsip keadilan melalui kesetaraan berusaha serta kompetisi yang sehat antar pelaku konvensional dan digital.
"Perdagangan melalui sistem elektronik merupakan keniscayaan yang harus kita kelola dengan baik. Oleh karena itu arah kebijakan pajak yang akan diambil juga perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap perkembangan industri e-commerce nasional, termasuk bagi UMKM yang memanfaatkan marketplace dalam memperluas bisnis mereka," ujarnya
Rizal menambahkan pada 2021, nilai ekonomi digital Indonesia tercatat sebesar US$70 miliar atau sekitar Rp1.000 triliun, tertinggi di kawasan Asean. Nilai tersebut diprediksi meningkat dua kali lipat pada 2025 dan akan terus naik hingga mendekati Rp5.000 triliun pada 2030.