Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

LAPORAN DARI THAILAND: Keamanan Siber Butuh Pendampingan Fiskal

Optimalisasi belanja negara berperan krusial dalam meminimalisasi berbagai bentuk kejahatan siber yang berisiko merugikan masyarakat dan perekonomian nasional.
Ilustrasi pekerjaan/ Bloomberg
Ilustrasi pekerjaan/ Bloomberg

Bisnis.com, PHUKET – Optimalisasi belanja negara berperan krusial dalam meminimalisasi berbagai bentuk kejahatan siber yang berisiko merugikan masyarakat dan perekonomian nasional. Terlebih, dewasa ini Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan kasus kejahatan siber yang cukup tinggi.

Berdasarkan data Kaspersky Lab, sepanjang Juli 2021—Agustus 2022 telah ditemukan sebanyak 7,2 miliar kejahatan siber, yakni 35% di negara-negara Asia Pasifik, dan sisanya di kawasan lain.

Khusus Asia Pasifik, Indonesia menjadi sasaran kejahatan siber dengan porsi 3% pada periode tersebut, naik dibandingkan dengan kurun waktu Agustus 2020—Juli 2021 yang hanya 1%.

General Manager Kaspersky Lab Asia Tenggara Yeo Siang Tiong mengatakan, ada tiga aspek yang menjadi kunci dalam memperkuat sistem keamanan siber, yakni belanja pemerintah, undang-undang, serta kebijakan teknis.

Selain itu, menurutnya seluruh yurisdiksi termasuk Indonesia juga perlu meningkatkan ketersediaan sumber daya manusia di bidang teknologi sehingga memiliki kapabilitas yang mumpuni dalam menguatkan ekosistem digital.

"Kami sudah bertemu juga dengan BSSN [Badan Siber dan Sandi Negara] dan berkomitmen memperkuat keamanan lanskap siber di Indonesia," kata dia di sela-sela Cyber Security Weekend di Phuket, Thailand, Kamis (25/8).

Berdasarkan survei yang dilakukan Kaspersky pada April lalu, korporasi di Asia Tenggara menjadi kawasan yang paling diincar oleh pelaku kejahatan siber. Dalam survei itu, 67% dari 900 responden mengonfirmasi telah menjadi korban serangan digital tersebut.

Secara sektoral, lini bisnis di Tanah Air yang paling rentan adalah perusahaan keuangan dan pelayanan kesehatan. "Tetapi pada dasarnya semua menghadapi serangan itu karena pelaku kejahatan bertindak random," ujarnya.

Pada kesempatan terpisah, Direktur Tim Riset dan Analis Global Asia Pasifik Kaspersky Vitaly Kamluk menambahkan, seluruh pihak memang patut meningkatkan belanja atau investasi untuk keamanan siber.

Musababnya, risiko kejahatan terus meningkat seiring dengan perkembangan teknologi dan pesatnya kreativitas bisnis digital.

Dia menambahkan, kejahatan siber tak hanya merugikan negara dan korporasi, masyarakat pun berpotensi menjadi korban melalui pencurian data nasabah. "Jika keamanan siber tidak diperkuat maka akan ada risiko yang besar karena tidak ada kendali," ujarnya.

Korporasi swasta sejatinya telah mengeluarkan belanja modal untuk memperkuat perlindungan data. Akan tetapi, kontribusi pemerintah tetap diperlukan dalam rangka menopang upaya yang telah dilakukan oleh pelaku usaha tersebut.

Celakanya, instrumen fiskal untuk meningkatkan keamanan siber melalui BSSN amat terbatas. Hal itu tecermin dari diturunkannya alokasi belanja untuk BSSN, lembaga negara yang bertugas melakukan pemantauan serta pengamanan data, termasuk kejahatan di dunia maya.

Berdasarkan Nota Keuangan Beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023, periode tahun anggaran 2018--2022, anggaran BSSN mengalami perubahan yang cukup fluktuatif.

Pada 2018 anggaran BSSN mencapai Rp942,4 miliar, kemudian pada outlook tahun 2022 hanya Rp507,8 miliar. Pemerintah berdalih, penurunan ini disebabkan adanya kebijakan anggaran dalam upaya penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

Adapun pada tahun depan, anggaran BSSN direncanakan senilai Rp624,4 miliar, yang antara lain dialokasikan untuk program keamanan dan ketahanan siber Rp120,3 miliar, dan dukungan manajemen sebesar Rp504,0 miliar.

Perencanaan belanja pemerintah tersebut kontras dengan data realisasi dan proyeksi belanja keamanan siber secara global. Pada tahun lalu, total anggaran yang digelontorkan untuk meningkatkaan keamanan siber mencapai US$262,4 miliar.

Angka tersebut diperkirakan meningkat menjadi US$301,8 miliar pada tahun ini, US$347 miliar pada tahun depan, kemudian US$399 miliar pada 2024, dan US$458 miliar pada 2025.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Tegar Arief
Editor : Tegar Arief
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper