Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah belum juga memutuskan untuk menahan atau menaikkan harga bahan bakar subsidi (BBM), meskipun isu tersebut menjadi bola liar di masyarakat.
Pasalnya, kenaikan BBM akan menimbulkan dampak ke berbagai sektor, termasuk meningkatnya tekanan inflasi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menginstruksikan menteri-menteri Kabinet Kerja untuk menghitung secara komprehensif, termasuk anggaran subsidi dan jaring pengaman sosial yang harus disiapkan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah dan DPR RI sepakat untuk menanggarkan subsidi energi sebesar Rp502 triliun pada APBN 2022. Namun, kuota subsidi tersebut akan habis dalam waktu dekat.
Pemerintah akhirnya dihadapkan pada dua pilihan yang dilematis: Apakah harus menambah anggaran subsidi atau justru menaikkan harga BBM subsidi, yaitu Pertalite dan Solar?
Berikut Pernyataan Sri Mulyani soal subsidi energi dan harga BBM
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan kuota BBM subsidi hampir habis hingga penerima subsidi yang ternyata orang kaya.
1. Anggaran Rp502 Triliun Jebol
Kepada anggota Komite IV DPD RI, Sri Mulyani menyampaikan pemerintah tidak mencabut subsidi. Justru, kata dia, pemerintah sudah menambah anggaran subsidi energi menjadi Rp502 triliun pada APBN 2022.
Namun, dia mengatakan kuota tersebut hampir habis seiring meningkatnya aktivitas masyarakat. Pemerintah juga semakin khawatir subsidi menipis lantaran harga Indonesia Crude Palm (ICP) yang naik hingga ke atas US$100 per barel.
"Jadi kalau bilang subsidi jangan dicabut, wong duitnya Rp502 triliun [sudah dianggarkan]. Tapi karena harga lebih tinggi, kami waktu menyampaikan ke DPR untuk tambah anggaran subsidi," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja Komite IV DPD dengan Menteri Keuangan, Bappenas, dan Bank Indonesia pada Kamis (25/8/2022).
2. Harga Minyak Melonjak
Sri Mulyani mengatakan pemerintah menggunakan asumsi harga acuan minyak mentah atau ICP sebesar US$100 dolar AS per barel.
Namun, hingga Januari-Juli 2022 harga rata-rata ICP ternyata sudah mencapai US$105 dolar AS per barel. Menurutnya, selisih harga ICP tersebut membuat besaran subsidi dan kompensasi energi yang ditanggung pemerintah kian membengkak.
"Tapi karena harga lebih tinggi, kami waktu menyampaikan ke DPR untuk tambah anggaran subsidi kita gunakan asumsi US$100 per barel, januari-juli ini harga rata-rata ICP kita itu US$105 dolar per barel," imbuhnya.
3. Harga Keekonomian Pertalite dan Solar
Menkeu mengatakan harga Solar subsidi saat ini Rp5.150 per liter. Padahal, kata dia jika mengacu pada harga ICP US$100 per barel dan nilai tukar rupiah Rp14.450 per dolar AS, maka harga keekonomian Solar seharusnya Rp13.950 per liter.
"Bedanya harga sebenarnya dengan harga berlaku [untuk Solar] itu Rp8.300 per liter," ucapnya.
Sementara itu, untuk harga Pertalite di pom bensin saat ini masih Rp7.650 per liter. Jika mengikuti harga ICP US$100 dengan nilai tukar Rp14.450, maka harga Pertalite yang seharusnya itu Rp14.450 per liter.
"Kita jualnya Rp7.650. perbedaan yang sebesar Rp6.800 itu harus kita bayar ke pertamina itu subsidi kompensasi.
4. Kuota Hampir Habis
Menkeu mengatakan kuota BBM bersubsidi akan habis pada September 2022 atau bulan depan jika tidak terdapat tindakan tertentu terhadap kebijakan subsidi atau konsumsi.
Menurut Sri Mulyani, kuota BBM bersubsidi akan segera habis jika tingkat konsumsi saat ini terus berlanjut. Dia menyatakan bahwa Solar berpotensi habis pada Oktober 2022, sedangkan Pertalite akan habis lebih cepat.
“Artinya, tiap bulan 2,4 juta kiloliter [pertalite] habis. Jika [tren] ini diikuti, akhir September 2022 habis [kuota] untuk Pertalite,” ujarnya.
Saat, ini tingkat konsumsi BBM sudah melebihi asumsi sehingga anggaran subsidi BBM terkuras. Dia menjelaskan bahwa ketika pemerintah menganggarkan subsidi BBM Rp502 triliun, terdapat penetapan volume BBM yang akan mendapatkan subsidi.
Hingga akhir 2022, ditetapkan bahwa kuota Pertalite adalah 23 juta kiloliter dan solar 15,1 juta kiloliter. Nyatanya, pada Juli 2022 jatah Pertalite yang sudah terpakai mencapai 16,84 juta kiloliter atau 73 persen dari kuota. Lalu, jatah Solar telah telah terpakai 9,88 juta kiloliter atau 65 persen dari kuota tersedia.
5. Dinikmati Orang Kaya
Sri Mulyani mengungkapkan lebih dari 86 persen bahan bakar minyak (BBM) subsidi justru dinimati oleh orang kaya. Hal itu merupakan risiko dari penyaluran subsidi terhadap barang, tetapi bisa dibeli siapapun.
"Jadi yang orang miskin tadi, dari ratusan triliun subsidi itu dia hanya menikmati sangat kecil," ujarnya.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa pengguna BBM bersubsidi lebih banyak berasal dari kalangan orang kaya. Secara spesifik, Pertalite dikonsumsi oleh 30 persen orang terkaya dan solar dikonsumsi oleh 40 persen orang terkaya di Indonesia.
Dia menjabarkan bahwa dari total anggaran subsidi untuk Pertalite, 86 persen di antaranya dikonsumsi oleh 30 persen orang terkaya. Kondisinya serupa di Solar, yakni dari total anggaran subsidi Rp143 triliun, orang kaya dan dunia usaha menikmati Rp127 triliun di antaranya atau mencapai 89 persen dari total subsidi solar.