Bisnis.com, JAKARTA — Defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) diperkirakan dapat mencapai tingkat yang lebih rendah dari proyeksi pemerintah terakhir di 3,9 persen dari PDB.
Chief Economist Citibank Indonesia Helmi Arman menyampaikan bahwa kenaikan harga komoditas unggulan Indonesia di pasar global menambah penerimaan negara secara signifikan pada tahun ini.
Penerimaan negara yang meningkat tersebut memberikan ruang bagi pemerintah untuk menambah subsidi energi sehingga kenaikan harga di dalam negeri tidak setinggi di banyak negara lainnya.
“Kami proyeksikan capaian defisit APBN sedikit lebih rendah dari angka proyeksi pemerintah terakhir 3,9 persen dari PDB, sedikit lebih rendah dari itu, sekitar 3,8 persen dari PDB,” katanya, Kamis (11/8/2022).
Menurut Helmi, risiko pembengkakan subsidi pun tidak akan terlalu besar. Pasalnya, dia memperkirakan harga minyak dunia ke depan akan mengalami penurunan. Hal ini tercermin dari harga bensin dunia yang telah turun kencang dibandingkan dengan harga minyak dunia dalam sebulan terakhir.
Adapun, Kementerian Keuangan mencatat surplus APBN telah mencapai Rp106,1 triliun per Juli 2022 atau mencapai 0,57 persen dari PDB. Capaian tersebut meningkat dari bulan sebelumnya yang mencapai Rp73,6 triliun atau 0,39 persen dari PDB.
"Tahun lalu pada Juli kita sudah defisit Rp336,7 triliun, sekarang masih surplus Rp106 triliun. Itu pembalikan lebih dari Rp340 triliun hanya dalam 12 bulan," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (11/8/2022).
Surplus tersebut dikontribusi oleh kenaikan pendapatan negara yang mencapai Rp1.551 triliun, naik signifikan 21,2 persen secara tahunan.
Sementara itu, Sri Mulyani menyampaikan bahwa pemerintah telah mengucurkan anggaran sebesar Rp104,8 triliun untuk subsidi energi pada semester I/2022. Anggaran ini digunakan untuk membayar kompensasi untuk Pertamina dan PLN agar harga energi tak naik.