Bisnis.com, JAKARTA - Harga properti di Australia tengah mengalami kemerosotan pasca kenaikan suku bunga yang tinggi. Hal ini menyebabkan penurunan permintaan yang drastis hingga berujung pada penurunan harga.
Dikutip dari The Guardian, Selasa (2/8/2022) harga properti yang anjlok ini serupa dengan masa krisis keuangan global (global financial crisis/GFC) di tahun 1980-an.
Menurut CoreLogic, perusahaan data properti, pada Juli 2022 nilai hunian turun rata-rata 1,3 persen secara nasional dan menurun tiga bulan berturut-turut.
Ada 5 dari 8 kota di negara tersebut yang dilaporkan harga propertinya mengalami penurunan drastis yaitu Sydney turun 2,2 persen, Melbourne turun 1,5 persen serta Brisbane, Canbera dan Hobart yang ikut mengalami penurunan.
Bahkan, di Sydney nilainya turun hingga 5,2 persen dari Januari dan lebih menurun 3,9 persen dari awal GFC di tahun 2008. Direktur Riset CoreLogic Tim Lawless mengatakan di awal 1980-an bahkan penurunan tidak secepat kondisi saat ini.
"Kami dengan pasti melihat harga perumahan turun cukup cepat di tingkat nasional, setara dengan GFC," kata Lawless, dilansir The Guardian.
Sebagai informasi, suku bunga pinjaman telah meningkat sejak pandemi Covid-19. Bank Sentral telah mulai menaikkan suku bunga pada bulan Mei dari rekor terendah 0,1 persen dan diperkirakan akan naik menandai lajut kenaikan tercepat sejak tahun 1994.
Lawless menuturkan kemungkinan nilai properti akan kembali stabil masih lama. Namun, tak dapat dipungkiri tetap ada perubahan relatif yang sangat bervariasi.
Meski terjadi penurunan harga, penyewa properti terlihat tidak terlalu memanfaatkan kondisi ini. Hal ini terlihat dari tingkat sewa yang hanya naik 0,9 persen dari sebelumnya 10 persen di tahun lalu.
"Pasar sewa sangat ketat, dengan tingkat kekosongan sekitar 1 persen atau lebih rendah di banyak bagian Australia. Jumlah daftar sewa yang tersedia secara nasional telah turun sepertiga dibandingkan dengan rata-rata lima tahun, tanpa tanda peningkatan pasokan sewa," ujarnya.