Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan dampak Federal Reserve (The Fed) resmi menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin untuk dua bulan berturut-turut ke negara berkembang.
Sebagaimana diketahui, mata uang dollar AS mendominasi lebih dari 60 persen transaksi dunia. Sri Mulyani menyampaikan dampak dari inflasi AS 9,1 persen pada Juni lalu yang direspon dengan kenaikan suku bunga yang kian agresif dari The Fed jelas akan berpotensi memengaruhi kesehatan perekonomian global.
"Secara historis kita lihat setiap kali AS [The Fed] menaikka suku bunga apalagi secara sangat agresif, biasanya diikuti oleh krisis keuangan dari negara-negara emerging [negara berkembang], seperti yang terjadi pada 1974 dan pada akhir 1980an," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu (27/7/2022).
Dia mengatakan risiko inilah yang menjadi salah satu hal yang dipantau oleh Dana Moneter Internasional (IMF), di dalam melihat kerawanan negara-negara developing dan negara-negara emerging.
Selain itu, Menkeu mengungkapkan volatilitas yang meningkat tersebut juga memicu kemungkinan penurunan atau pelemahan ekonomi negara-negara di seluruh dunia.
"Di AS dengan kenaikan suku bunga, maka memunculkan adanya tantangan atau ancaman resesi," lanjut dia.
Baca Juga
Berdasarkan survei Bloomberg, probabilita AS mengalami resesi mencapai 40 persen. Demikian halnya dengan Eropa dimana probabilitas mengalami resesi mencapai 55 persen. Sementara Indonesia, probabilitas mengalami resesi berdasarkan survei tersebut jauh lebih kecil dari AS dan Eropa, yakni 3 persen.
Meski probabilitas Indonesia mengalami resesi lebih kecil dibandingkan negara-negara tersebut, Sri Mulyani menekankan untuk tetap waspada.
"Kenapa? Karena semua indikator ekonomi dunia mengalami pembalikan yaitu dari tadinya recovery menjadi perlemahan dan pada saat yang sama kita juga melihat kompleksitas dari policy yang bisa menimbulkan spillover," ungkapnya.