Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BI Beberkan Isu Utama yang Bikin The Fed Naikkan Suku Bunga

Bank Indonesia beberkan isu utama ekonomi global yang mungkin bikin The Fed Naikkan suku bunga 75 Bps dalam waktu dekat.
Karyawan menghitung uang dolar di gerai penukaran mata uang asing Ayu Masagung, Jakarta, Senin (18/5/2020). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat pada penutupan perdagangan Senin (18/5) sebesar 10 poin atau 0,07  persen ke level Rp Rp14.850 per dolar AS. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Karyawan menghitung uang dolar di gerai penukaran mata uang asing Ayu Masagung, Jakarta, Senin (18/5/2020). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat pada penutupan perdagangan Senin (18/5) sebesar 10 poin atau 0,07 persen ke level Rp Rp14.850 per dolar AS. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) menyebut bahwa saat ini terdapat empat isu utama yang menggerakkan kondisi perekonomian global yang bisa membuat Federal Reserve (The Fed) akan menaikkan suku bunga hingga 75 Bps. 

Kepala Grup Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI Wira Kusuma menjelaskan bahwa keempat isu ini membuat dinamika perekonomian global menjadi berubah.

"PDB [produk domestik bruto] dunia slowing down, menurun perkembangannya. Kemudian, harga-harga komoditas global meningkat dengan adanya proteksionisme, supply chain disruption, itu menyebabkan inflasi global meningkat," kata Wira dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9, Senin (25/7/2022). 

Wira menyebut bahwa lonjakan inflasi, terutama di negara-negara maju, menyebabkan terjadinya akselerasi respons moneter. BI sendiri memperkirakan bahwa The Fed akan menaikkan suku bunganya 75 basis poin pada Juli 2022 ini, sebagai respons atas perkembangan terbaru di Amerika Serikat.

Isu pertama yang menjadi perhatiannya, yaitu perbaikan kondisi pandemi Covid-19. Hal itu membuat aktivitas ekonomi bisa berjalan lebih baik, meskipun saat ini kembali terjadi tren kenaikan kasus Covid-19.

Kedua, yaitu  ketegangan geopolitik yang masih berkepanjangan. Pecahnya konflik Rusia dan Ukraina berada di luar dugaan, begitu pun perkemmbangannya hingga saat ini. Oleh karena itu, dia menilai dampak perang Rusia vs Ukraina masih terus terjadi.

"Dampak utama dari konflik itu adalah naiknya harga komoditas, terutama pangan dan energi. Ukraina merupakan eksportir utama gandum ke pasar global, sedangkan Rusia merupakan penghasil energi yang sangat besar dan menjadi penyedia energi bagi sejumlah negara Eropa, sehingga konflik kedua negara itu sangat memengaruhi arus komoditas," imbuhnya. 

Ketiga, tren proteksionisme yang dilakukan negara-negara untuk mengamankan pasokannya, terutama pangan. Dia menjelaskan bahwa kebijakan proteksionisme di sejumlah negara merupakan imbas dari tingginya harga dan keterbatasan pasokan komoditas, yang merupakan dampak dari serangan Rusia ke Ukraina. Alhasil, banyak negara yang ingin mengamankan pasokan di dalam negerinya terlebih dahulu.

Konflik geopolitik dan perkembangan pandemi Covid-19 memengaruhi terjadinya isu keempat, yakni gangguan rantai pasokan. Misalnya, China melakukan pembatasan yang ketat ketika terjadi lonjakan kasus Covid-19, sehingga mendisrupsi rantai pasok global.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper