Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah tengah menggodok revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mengatur pembatasan penerima Bahan Bakar Minyak bersubsidi dan penugasan agar jenis Solar subsidi dan Pertalite.
Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Erika Retnowati mengatakan revisi aturan penerima BBM bersubsidi dilakukan agar penyalurannya lebih tepat sasaran.
Dia menuturkan, Revisi Perpres 191/2014 akan memuat aturan teknis terbaru terkait ketentuan kelompok masyarakat yang berhak untuk menggunakan Jenis BBM Tertentu (JBT) Solar dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite.
"Di beleid saat ini Pertalite belum ada aturannya. Sehingga dengan revisi Perpres ini penyalurannya akan lebih tepat sasaran” kata Erika dalam keterangannya, Senin (11/7/2022).
Erika menjelaskan aturan saat ini untuk solar subsidi berdasarkan volume untuk transportasi darat, kendaraan pribadi plat hitam 60 liter per hari.
Kemudian, untuk angkutan umum orang/barang roda 4 sebanyak 80 liter per hari, sedangkan angkutan umum/orang roda 6 sebanyak 200 liter per hari.
Sementara itu, yang dikecualikan untuk kendaraan pengangkutan hasil kegiatan perkebunan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari enam.
Setelah revisi aturan tersebut selesai, Erika mengungkapkan BPH Migas akan menerbitkan regulasi pengendalian pembelian BBM subsidi jenis Solar dan Pertalite yang akan mengatur secara teknis di lapangan.
Dia menegaskan bahwa masyarakat ekonomi kelas atas yang menggunakan mobil mewah tidak akan menerima BBM bersubsidi.
"Untuk masyarakat ekonomi kelas atas yang menggunakan mobil mewah dipastikan tidak akan menerima BBM Bersubsidi, mobil mewah yang punya orang mampu pasti tidak layak mendapatkan subsidi” ujar Erika.
Selain merevisi aturan, BPH Migas juga meningkatkan pengawasan atas penyaluran BBM subsidi dengan memperkuat peran pemerintah daerah dan penegak hukum, melakukan sosialisasi dengan penyalur yang belum memahami ketentuan, dan menekankan sanksi yang tegas, termasuk mendorong penggunaan teknologi dalam pengawasan.
"Ke depannya kita memang memerlukan teknologi informasi untuk mengatur BBM subsidi agar lebih tepat sasaran dan mencegah penyelewengan distribusi di lapangan, sehingga perlu menggunakan pencatatan elektronik yang dapat mengidentifikasi penggunaan dan penyalurannya di titik serah penyalur (ujung nozzle) oleh badan usaha," ungkap Erika.