Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock mengatakan Rusia telah mengubah gelombang krisis pangan menjadi 'tsunami' dengan memblokir ekspor 25 juta ton biji-bijian dari pelabuhan Ukraina.
Hal itu disampaikannya pada awal konferensi pangan antarkementerian di Berlin. Baerbock mengatakan 345 juta orang di seluruh dunia saat ini terancam kekurangan pangan.
Dilansir dari The Guardian, Sabtu (25/6/2022), Baerbock mengatakan krisis pangan seperti gelombang yang mengancam jiwa, tetapi perang Rusia yang telah membuat “tsunami” dari gelombang ini. Selain itu, dia menyebut bahwa Rusia menggunakan taktik kelaparan sebagai senjata perang.
Sementara itu, Rusia mengklaim bahwa sanksi Barat yang telah memperlambat aliran makanan Rusia.
Sebanyak 25 negara Afrika, termasuk banyak negara yang kurang berkembang, mengimpor lebih dari sepertiga gandum dari Ukraina dan Rusia. Tak hanya itu, 15 di antaranya juga mengimpor lebih dari setengahnya.
Di lain pihak, Mantan Presiden dan Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev menyinggung pernyataan Baerbock bahwa taktik kelaparan yang dilakukan Jerman pada Perang Dunia II.
Baca Juga
“Pejabat Jerman menuduh Rusia menggunakan kelaparan sebagai senjata. Sungguh menakjubkan mendengar ini dari para pejabat yang negaranya menahan Leningrad dalam blokade selama 900 hari, di mana hampir 700.000 orang meninggal karena kelaparan,” kata Medvedev.
Di sisi lain, Kepala Ekonom di Program Pangan Dunia PBB Arif Husain mengatakan bukan sanksi yang menyebabkan krisis pangan, melainkan perang. “Kita cenderung mengatasi gejalanya dan melupakan akar masalahnya, dan akar masalahnya adalah perang,” katanya.
Husain mengatakan lebih dari 40 negara menghadapi inflasi pangan lebih dari 15 persen, dan lebih dari 30 negara telah mengalami depresiasi mata uang lebih dari 25 persen.
“Pra-Covid kami melihat sekitar 135 juta orang dalam krisis atau jenis situasi keamanan pangan terburuk. Hari ini, termasuk dampak Ukraina, jumlahnya adalah 345 juta. Ada sekitar 50 juta orang di dunia yang kita sebut darurat kelaparan, artinya satu langkah lagi dari kelaparan. Itu bukan di satu, dua atau lima negara, tetapi lebih dari 45 negara. Itulah besarnya, itulah skala masalah yang Anda bicarakan,” bebernya.
Selain itu, dia juga mengatakan krisis keterjangkauan yang disebabkan oleh harga tinggi dapat berubah menjadi krisis ketersediaan tahun depan, terutama karena pupuk tidak bergerak pada tingkat yang dibutuhkan. Dia mengatakan kekurangan dana yang disebabkan oleh meningkatnya biaya dan permintaan berarti WFP "harus memotong jatah kiri kanan dan tengah".
Adapun dalam konferensi Chatham House, dia menolak saran bahwa hilangnya ekspor Ukraina melalui laut dapat digantikan oleh jalan darat dan kereta api.
Dia menyampaikan perkiraan PBB menunjukkan hanya 1,5 juta hingga 2 juta ton biji-bijian per bulan yang dapat diangkut melalui jalur darat dan kereta api, dibandingkan dengan 5 hingga 6 juta ton per bulan yang biasanya diekspor melalui pelabuhan Laut Hitam Ukraina. Menurutnya, rute jalan raya membutuhkan 9.000 truk per hari.
“Pikirkan tentang dinamika 9.000 truk di jalan di zona perang. Itu akan sangat mahal melalui jalan darat bahkan jika Anda bisa melakukannya. Premi untuk biji-bijian akan membuat Anda keluar dari pasar di panggung global. Ini bukan tentang mengeluarkan 1-2 juta ton – itu tidak akan mengurangi harga pasar dunia,” terangnya.